Dari tangan para guru lahirlah dokter, insinyur, wirausahawan, birokrat, bahkan pemimpin negara.Â
Guru adalah pintu pertama yang membuka jalan pengetahuan, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral. Tanpa guru, mustahil sebuah bangsa mencetak sumber daya manusia unggul.
Realita Lapangan: Guru dan Pengorbanannya
Namun di balik filosofi luhur itu, keseharian guru di lapangan jauh dari kata ideal. Tidak sedikit guru honorer yang sudah mengabdi belasan tahun dengan gaji jauh di bawah upah minimum.Â
Ada yang hanya menerima beberapa ratus ribu rupiah per bulan, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Keterbatasan fasilitas membuat banyak guru harus mengeluarkan dana pribadi. Dari membeli spidol, kertas fotokopi, hingga membiayai kuota internet saat pembelajaran jarak jauh.Â
Bahkan ada guru di pelosok yang rela menempuh perjalanan jauh setiap hari, atau memilih tinggal di sekolah sederhana demi memastikan murid tetap bisa belajar.
Semua pengorbanan itu dilakukan bukan karena guru tidak tahu menuntut hak, melainkan karena mereka memahami bahwa anak-anak adalah prioritas. Di sinilah terlihat jelas: guru bukan beban, melainkan tulang punggung peradaban.
Paradoks Anggaran Pendidikan
Dalam APBN 2025, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp724,3 triliun untuk sektor pendidikan, setara 20 persen dari total belanja negara. Angka ini menunjukkan komitmen yang besar.Â
Tetapi di sisi lain, realitas di lapangan masih menunjukkan kesenjangan. Guru honorer masih banyak yang belum sejahtera, dan berbagai kebijakan terkait kesejahteraan guru sering kali berjalan lambat.