Kisah serupa juga terjadi di Yogyakarta, ketika dua sepupu membuka kedai kopi kekinian. Mereka tidak membuat kesepakatan tertulis karena merasa "sudah saling percaya."
Tapi saat pendapatan naik dan kedai mulai berkembang, muncul masalah pembagian hasil dan keputusan ekspansi yang tidak disepakati bersama. Akhir cerita: satu pihak hengkang, satu pihak menanggung utang.
Fenomena ini bukan hal baru. Sebuah laporan dari Forbes Indonesia pernah mengungkap bahwa lebih dari 60% bisnis keluarga di Asia Tenggara gagal bertahan hingga generasi kedua, dan salah satu penyebab utamanya adalah konflik internal.
Mengapa Kerja Bareng Saudara Sering Jadi Drama?
1. Batas antara personal dan profesional kabur. Ngobrol soal target penjualan bisa berujung sindiran masa lalu. Rapat mingguan berubah jadi ajang curhat dan debat emosional.
2. Gengsi dan ego antar saudara. Karena merasa “kita ini setara,” banyak saudara yang sulit menerima arahan satu sama lain. Padahal dalam bisnis, struktur tetap dibutuhkan.
3. Komunikasi tersamar. Sering menganggap “dia pasti ngerti maksudku,” padahal tidak semua hal bisa dibaca tanpa penjelasan. Salah paham pun jadi biasa.
4. Campur tangan keluarga lain. Kadang orang tua atau pasangan ikut-ikutan memberi pendapat, bahkan mengintervensi keputusan bisnis. “Dia kan adikmu, masa gak dikasih bagian lebih?”
5. Tidak ada struktur kerja atau perjanjian jelas. Semuanya dilakukan berdasarkan rasa percaya. Tapi ketika masalah muncul, tidak ada yang bisa dijadikan acuan.
Kerja dengan Orang Lain: Jarak Aman, Tapi Tak Selalu Nyaman
Di sisi lain, kerja dengan orang lain yang bukan saudara juga punya plus-minus tersendiri.