Ibu,
adalah senyap yang menyulam matahari
dalam pelipis pagi yang belum sempat membuka jendela,
sebuah dongeng purba yang dibisikkan angin
ke ubun-ubun dunia saat cahaya masih gugup terlahir.
Kau bukan sekadar napas,
tapi jantung rahasia semesta
yang berdetak tanpa jeda
di balik ribuan gema waktu yang tak sempat kucatat.
Tubuhmu,
adalah altar di mana aku dipahat
dari debu keinginan dan air mata pengharapan.
Rahimmu:
adalah galaksi yang menampung denyut bintang
sebelum semesta menamai aku dengan tangis.
Kau ajari aku menyusu pada luka,
pada sabar yang tak sempat kau eja
sebab dunia terlalu bising,
dan malam terlalu panjang untuk mengeluh.
Ibu,
doamu menjelma jubah tak kasat
yang melindungi punggungku
bahkan saat aku berbalik arah
meninggalkan jejak-jejakmu yang kering di lantai sunyi.
Kau tak pernah meminta langit,
padahal tiap peluhmu telah menebus gerhana
yang mengendap di pundakku.
Kini, aku tahu,
bahwa pelukmu adalah negeri
yang tak pernah mencatat pengkhianatan,
sebuah rumah yang tetap membuka jendela
meski semua tamu telah lupa alamatnya.
Ibu,
engkaulah musim yang tak pernah gugur,
embun yang tak bisa diperas waktu,
dan kasih yang tak bisa disusutkan
meski oleh api, angin, atau kematian sekalipun.
Puisi ini didedikasikan untuk para ibu hebat yang mencintai dalam diam, menguatkan dalam lelah, dan tetap menjadi cahaya saat dunia meredup.
Terimakasih ibu...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI