Pernahkah kamu merasa sudah bekerja keras, memenuhi semua kualifikasi, dan memberikan yang terbaik, namun tetap tersingkir dalam persaingan kerja?
Di balik meritokrasi yang diagung-agungkan, kenyataan sering kali berkata lain: akses dan kedekatan bisa lebih menentukan daripada kompetensi. Melalui artikel mari kita selami sisi lain dunia kerja yang jarang dibicarakan; tentang ketidakadilan sistemik, permainan relasi, dan perjuangan mereka yang tak punya 'orang dalam'.
Meritokrasi: Sekadar Mitos dalam Brosur?
Dalam teori, dunia kerja seharusnya mengandalkan prinsip meritokrasi; bahwa siapa pun yang berprestasi, bekerja keras, dan menunjukkan kemampuan akan mendapat tempat yang layak. Tapi di lapangan, kita sering menjumpai kenyataan yang memukul logika.
Seseorang dengan dedikasi tinggi, pengalaman mumpuni, dan kinerja yang baik, bisa saja tersisih hanya karena "tidak cukup dekat" dengan pihak yang berkuasa.
Ironisnya, keputusan penting dari rekrutmen hingga promosi jabatan masih sering kali dipengaruhi oleh faktor kedekatan personal, senioritas yang tidak proporsional, atau campur tangan "orang dalam" yang mengendalikan jalur-jalur tak terlihat.
Orang Dekat, Orang Lama, dan Orang Dalam: Tiga Pilar Ketimpangan
Fenomena ini muncul dalam berbagai bentuk. Orang dekat, misalnya, adalah mereka yang punya relasi personal dengan atasan atau pengambil keputusan. Tidak jarang, kedekatan ini membuka jalan pintas ke posisi strategis, bahkan tanpa proses seleksi yang adil.
Lalu ada orang lama. Dalam beberapa organisasi, senioritas dihormati secara mutlak.
Tak peduli apakah kinerjanya menurun, asal sudah lama berada di dalam sistem, maka dialah yang dianggap “lebih pantas.” Padahal pengalaman panjang belum tentu sejalan dengan produktivitas yang relevan.