Pola asuh otoriter yang penuh komando dan ancaman ibarat peninggalan masa kolonial—tepatnya gaya "Parenting VOC" alias Vereenigde Oostindische Compagnie—yang kaku dan memaksa. Tapi ini bukan zaman tanam paksa, apalagi meja makan sebagai medan perang. Ini era Nego-C, negosiasi cinta dalam parenting.
Masalahnya bukan lagi soal anak harus tunduk tanpa suara, tapi soal bagaimana orang tua menciptakan ruang dialog, kedekatan emosional, dan pola makan sehat tanpa paksaan.
Lalu, bagaimana caranya? Mari simak pengalaman saya menjinakkan picky eater dan melepaskan ketergantungan anak pada gadget saat makan, "tanpa ancaman, tanpa reward berlebihan!"
Parenting VOC: Otoritas tanpa Negosiasi
Istilah "Parenting VOC" belakangan ramai dibicarakan sebagai metafora gaya pengasuhan otoriter. Penuh aturan, minim kompromi.
Mirip perusahaan dagang kolonial yang menguasai, menekan, dan menuntut hasil. Pola ini biasanya hadir dalam bentuk kalimat seperti, “Kalau nggak habis makannya, nggak boleh nonton!”, atau “Mama hitung sampai tiga, ya!”
Di sisi lain, dunia sudah berubah. Anak-anak kini lahir di era digital, berpikir kritis sejak dini, dan punya kebutuhan untuk didengar. Mengasuh dengan cara VOC di zaman now? Bisa-bisa orang tua justru kehilangan kendali karena pendekatan yang salah kaprah.
Picky Eater dan Gadget? Duo Tantangan Masa Kini
Siapa yang tak pernah menghadapi anak yang pilih-pilih makanan? Ditambah lagi, tak sedikit yang hanya mau makan jika ditemani video animasi atau main game.
Saya pun pernah mengalami masa-masa itu. Anak yang menolak sayur, hanya mau nasi dengan topping tertentu, dan butuh “hiburan” YouTube agar mulutnya terbuka.