Di Tatar Sunda, makanan bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga bagian dari nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Selain kaya akan cita rasa, makanan khas Sunda juga menyimpan mitos dan pantangan yang masih dipercayai hingga kini.
Dari larangan makan pisang dempet hingga pantangan menyisakan nasi, kepercayaan ini bukan sekadar mitos, tetapi juga mencerminkan filosofi dan kearifan lokal masyarakat Sunda.
Lalu, apa saja mitos makanan yang masih bertahan? Dan bagaimana makna filosofis makanan khas Sunda, terutama dalam suasana Lebaran?
Mitos Pantangan Makanan di Budaya Sunda
Mitos makanan sering kali berkaitan dengan nasib, kesehatan, atau kehidupan sosial seseorang. Berikut beberapa pantangan makanan yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat Sunda:
1. Pantangan Makan Pisang Paling Ujung, Pisang Dempet, atau Buah yang Menyatu Seperti Kembar Siam.Â
Konon, siapa pun yang makan pisang paling ujung akan tersisihkan dalam keluarga. Makan pisang dempet juga bisa mengalami kesialan. Bagi ibu hamil, mitos ini lebih kuat lagi, mereka dilarang memakannya untuk menghindari melahirkan bayi kembar siam atau bayi dengan kondisi tidak sempurna.
Sebenarnya alasan orang tua melarang mengambil pisang paling ujung adalah untuk memuliakan makanan dengan mengambilnya secara berurutan sehingga tetap rapi.Â
Buah dempet juga pada umumnya berukuran lebih besar sehingga saat anak-anak memakannya bisa jadi mereka tidak menghabiskannya sehingga muncullah mitos ini. Pisang atau buah dempet perlu dibagi dua atau dipisahkan terlebih dahulu sebelum dimakan, agar dapat dihabiskan dan tidak mubazir.
2. Dilarang Makan Pantat Ayam (Brutu/Tungir)
Mitos ini beredar luas di masyarakat Sunda. Diyakini bahwa anak gadis dilarang makan tungir atau brutu. Konon katanya sering makan pantat ayam berdampak pada pendeknya usia atau menjadi pelupa (pikun).