Dilema Anak Rantau, Mudik atau Tetap di Perantauan?
Langit senja mulai menggelap, aroma hari raya sudah kian terasa. Di sebuah kamar kos kecil, seorang anak rantau duduk di sudut ruangan, memandangi tiket yang masih ada di layar ponselnya. Jemarinya ragu untuk menekan tombol "beli."
Lebaran selalu identik dengan momen berkumpul bersama keluarga. Namun, bagi anak rantau, keputusan untuk mudik atau tetap di perantauan sering kali menjadi dilema tersendiri.Â
Di satu sisi, ada kerinduan mendalam untuk pulang, bercengkerama dengan orang tua, mencium tangan mereka di pagi hari Idul Fitri. Ada keinginan untuk pulang, merasakan hangatnya pelukan ibu dan bercanda dengan saudara-saudara di kampung.Â
Namun, di sisi lain, ada realitas yang harus dihadapi: tiket pesawat yang mahal, tabungan yang belum cukup, pekerjaan yang sulit ditinggalkan atau waktu libur yang tak lama yang tak memungkinkannya untuk bisa pulang.
Dilema ini bukan hanya dirasakan oleh satu atau dua orang, tetapi oleh banyak sekali anak rantau yang harus memutuskan: mudik atau bertahan di perantauan? Antara ingin melepas rindu atau harus bertahan demi tanggung jawab dan keadaan.
Kerinduan yang Tak Terbayarkan
Bagi banyak anak rantau, Lebaran tanpa keluarga terasa seperti ada yang hilang. Suasana rumah yang biasanya ramai, bau khas masakan ibu, dan momen takbiran yang penuh haru, semua itu terasa begitu jauh.
Mereka yang memilih tetap di perantauan sering kali hanya bisa menatap layar ponsel, menyaksikan video call keluarga yang tersenyum di balik layar. Ada kehangatan di sana, tetapi juga ada jarak yang tak bisa dijembatani hanya dengan kata-kata.
"Tiap tahun biasanya selalu pulang, tapi kali ini harus bertahan di perantauan. Bukan karena tak ingin, tapi karena ada tanggung jawab pekerjaan yang tak ditinggalkan," kata Adi, seorang sahabat lama yang bekerja di salah satu kota di Kalimantan tatkala di grup kami berbincang perihal reuni sekolah.
Biaya Mudik yang Tak Terjangkau