Akhir-akhir ini nama akun Ninik Widuri sering terlihat di berandaku. Agak heran juga, sebab aku tidak merasa kami saling konfirmasi. Entahlah, apakah aku yang lupa atau memang ia yang telah berganti nama. Yang jelas akun itu sekarang berhasil mencuri perhatianku lewat unggahan cerpen, cerbung, dan review buku yang---menurutku---begitu apik ia tulis.Â
Meskipun foto profilnya masih muda tetapi ia terlihat dewasa. Sorot matanya tajam menggambarkan kecerdasannya. Aku suka wanita cerdas dan dewasa. Menurutku itu seksi dan aku ... naksir berat!
Setiap ia mengunggah tulisan, bisa dipastikan akulah pemberi jempol pertama. Ah, tak hanya jempol, emotikon love pun kerap aku semat pada unggahannya. Kami saling berbalas komentar lalu lanjut dengan pembicaraan yang seru dan mengasyikan.Â
Ninik Widuri, ku akui ia memang fasih menjawab semua keingintahuanku tentang dunia literasi. Dan seperti kisah yang sudah-sudah, kami pun semakin dekat. Akhirnya, pada suatu pagi aku menyatakan perasaan padanya.
[Nik, to the point aja, ya, sebenarnya aku sayang sama kamu dan ingin kita punya hubungan yang spesial sebagai kekasih] tulisku di inbox-nya.
 Lama tidak ada balasan. Aku berharap, cemas. Apakah ia tidak menyukaiku? Apakah ia sudah memiliki kekasih? Pikiran-pikiran itu terus mengusikku. Hingga akhirnya, tepat jam sebelas siang sebuah notifikasi dari aplikasi messenger terdengar dari HP-ku. Aku buru-buru membukanya. Benar saja, si dia yang kunanti akhirnya membalas pesanku.
[Aduh, sorry ya, Din. Aku nggak bisa nerima perasaan kamu. Kalo cuma sekadar sayang sebagai teman it's ok. Tapi untuk jadi pasangan kekasih, maaf ....]
Beberapa saat aku termenung setelah membaca balasan Ninik.
[Kenapa? Tolong jelaskan alasannya]
Kulihat titik-titik berjalan di layar HP
[Maaf, Din, sebenarnya aku sudah berumur. Kamu pasti nggak suka wanita berumur 'kan? Sorry banget, ya. Cari saja gadis yang seumuran dengan kamu]