Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasih Tiada Batas

1 November 2021   09:01 Diperbarui: 17 November 2021   08:13 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dari unsplash.com

Fajar. Matahari menerangi sebuah kota yang mati. Gedung-gedung pencakar langit hampa dan kosong. Hanya menjadi nisan-nisan raksasa dari peradaban yang musnah. 

Di bawahnya, mayat-mayat hidup yang dikenal sebagai zombie meluap memenuhi jalanan. Mereka berusaha menghentikan sebuah mobil van yang melaju kencang. Kendaraan tersebut menerjang kerumunan, berbelok, lalu nyelonong masuk ke satu gedung bertingkat. 

Sebelum para pengejarnya sempat menyusul, terjadi ledakan hebat yang menimbulkan kebakaran di seluruh lantai dasar.

Beberapa saat kemudian, dua sosok perempuan terlihat muncul di atap gedung tersebut. Keduanya sama-sama menyandang senapan serbu. Mereka adalah Sarah, seorang perempuan setengah baya yang masih tangguh, dan Kartini, putrinya yang sudah jadi remaja gagah nan jangkung. "Aku selalu lupa kakiku sudah terlalu tua untuk mendaki tangga setinggi itu," ujar Sarah sambil terduduk lemas dan terengah-engah.

"Kakimu masih oke kok, Ma," sahut Kartini. "Aku lebih khawatir soal apa yang ada di kepalamu. Jika napalm yang kita ledakkan di bawah tadi terlalu cepat padam, teman-teman kita yang kelaparan itu akan segera menyusul ke sini. Tapi kalau menyala terlalu lama, bisa-bisa kita terpanggang hidup-hidup. Jadi kuharap ada alasan yang sangat bagus kenapa kita minggat dari bunker hanya untuk menjebak diri-sendiri seperti ini."

"Kuharap yang di sana itu alasan yang yang cukup bagus," Sarah menunjuk ke satu sudut atap gedung tersebut. Sebentang lebar terpal hitam menutupi sesuatu yang besar. Penasaran, Kartini menghampiri dan menarik terpal itu sampai tersingkap. 

Gadis itu terperangah melihat apa yang ada di baliknya. Sebuah gyrocopter, persilangan antara helikopter dan pesawat ringan. "Aku menemukannya dalam sebuah hangar di perbatasan. Sudah kucoba menerbangkannya, dan ternyata mesin dan fuselage-nya masih layak. Jadi....selamat ulang tahun, Kartini!"

Kartini menatap ibunya lurus-lurus, "Kan ulang tahunku masih minggu depan, Ma!" 

Sarah tersenyum seraya menganggukkan kepala, "Aku tahu. Masalahnya saat itu aku sudah tidak bersamamu." 

Kartini tentu saja kaget, "Apa? Kenapa..." gadis itu tidak meneruskan pertanyaannya. Dia kembali memperhatikan gyrocopter, mengamatinya dengan teliti....dan dia pun tahu jawabnya. 

"Pesawat itu hanya bisa membawa satu orang," kata ibunya. "Dengan tanki penuh ditambah backpack sarat amunisi dan perbekalan di kursi belakang, sudah tidak mungkin lagi menambah berat muatan. Tapi tak mengapa. Pesawat itu memang kubawa hanya untukmu, Anakku. Aku akan mati dengan tenang jika bisa melihatmu terbang jauh dari dari tanah terkutuk ini..."

"Jangan bilang seperti, Ma," sergah Kartini sambil menghampiri ibunya. "Jika Mama pikir aku mau terbang meninggalkan Mama di sini berarti Mama tidak mengenal putri Mama sendiri!"  

Sarah lagi-lagi tersenyum, "Oh, aku cukup baik mengenal dirimu, Kartini. Itulah kenapa aku membawamu ke sini. Agar kau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan aku."  

Kartini mendesah jengkel, "Terlalu bersemangat menjadi martir seperti ini sama-sekali bukan jalan keluar, Ma!"  

Sarah bangkit dan meraih tangan putrinya, "Tapi memang tidak ada jalan lain, Anakku. Kau tahu sendiri kita tidak bisa selamanya tinggal di bunker. Zombie-zombie itu semakin banyak saja tiap harinya. Cepat atau lambat mereka akan menemukan jalan masuk. Aku melatihmu dari kecil bukan untuk mati konyol di sini. Aku melakukannya agar kau bisa menemukan jalanmu sendiri - jauh dari sini."

"God dammit, Ma," seru Kartini penuh emosi. "Ingat cerita Mama dulu soal wanita bernama Dora? Yang Mama tolong dari para zombie tapi malah meninggalkan Mama di tengah kepungan mereka? Mama bilang dia jadi jahat begitu karena karena anaknya sendiri berniat membunuhnya untuk menghemat cadangan makanan. Tahu enggak, cerita Mama itu bikin aku tak bisa tidur berhari-hari. Aku tak bisa membayangkan ada anak setega itu pada ibunya sendiri. Sejak itu aku berjanji tak akan menjadi anak tanpa hati nurani seperti dia. Aku tak akan pernah mengorbankan Mama buat keselamatan diriku sendiri. Jadi Mama mengerti bukan? Kalau Mama memintaku meninggalkan Mama di sini, itu bukan saja melanggar janjiku, tapi juga sama saja menyuruhku mencampakkan nuraniku sendiri! Sama saja dengan menyuruhku menjadi anak durhaka itu - yang selama ini membuatku jijik! Mama pikir aku bisa tetap waras kalau itu terjadi...?!"

Kartini menangis, menumpahkan perasaannya. Sarah memeluknya erat-erat. Mata perempuan yang jauh lebih tua itu juga basah oleh air mata. "Tidak, Sayang. Kau sama-sekali bukan anak durhaka, dan tak akan pernah menjadi demikian. Kau ini anak yang baik - berbakti, penuh perhatian, cerdas, dan tangguh sekali. Aku sangat bangga padamu. Karena itulah aku harus memastikan kau bisa pergi jauh dari kota ini. Kau terlalu berharga untuk hidup sia-sia di tanah tanpa harapan seperti ini..."

"Tidak, Mama!" Kartini terus terisak-isak, memeluk ibunya tak kalah erat. "Aku tak akan pernah meninggalkanmu...aku tak akan pergi tanpa dirimu..."

Sarah dengan lembut namun tegas menegakkan kepala Kartini yang lunglai di bahunya, membuat mereka saling beradu pandang. "Sayang, tolong dengarkan. Aku sekarang sudah tua. Tinggal masalah waktu sebelum aku jadi renta, sakit-sakitan dan cuma beban tanpa guna buatmu. Aku hanya akan menghalangi jalanmu, mengganggu konsentrasimu, yang justru bisa berakibat fatal buatmu. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Aku lebih suka mati sekarang, saat aku masih bisa berguna buatmu, daripada nanti ketika sudah pikun dan tak bisa melakukan apapun selain ngompol di tempat tidur. Aku tak ingin mati dalam keadaan seperti itu. Jadi kumohon, Sayang. Tinggalkan aku. Kabulkan keinginan terakhirku ini."

Kartini menatap sepasang mata yang basah dan mengiba itu. Dia menahan diri sejenak, lalu berkata, "Ma, ada yang ingin aku ceritakan. Dulu saat Mama berurusan dengan perempuan bernama Dora itu, aku malah sedang berhadapan dengan Zombie di gudang bawah tanah. 

Buat menolong bonekaku yang terjatuh ke sana. Ya, aku tak bilang apa-apa, karena Mama waktu itu pulang dalam keadaan berdarah dan seperti habis menangis. Takutnya Mama malah tambah tidak karuan kalau kuceritakan. Tapi kejadian itu memberiku dua pelajaran berharga. 

Pertama, berhasil menolong seseorang yang kita kasihi ternyata memberi perasaan menyenangkan. Jadi Mama tak usah khawatir merepotkan aku. Aku sayang Mama. Aku akan senang merawat Mama, seperti apapun kondisi Mama nanti. Kedua...."

"Awas," tiba-tiba Sarah berteriak. Beberapa sosok zombie terlihat muncul di puncak tangga ke atap. Dia baru menyadari kebakaran di lantai dasar ternyata sudah padam, dan mayat-mayat hidup itu mulai merangsek naik. Dengan sigap didorongnya Kartini ke belakang dan memberobot mereka tanpa ampun. "Tak ada waktu lagi," serunya tegas. "Aku akan menahan mereka. Pergilah, Anakku. Aku mohon padamu!"

Kartini ragu sejenak, memperhatikan ibunya, memperhatikan tekadnya untuk berkorban. Akhirnya dia pun mengalah. Gadis itu pun meninggalkan ibunya dan berlari menuju gyrocopter. Sambil menembak para zombie yang terus bermunculan, Sarah merasa lega melihat Kartini menuruti perintahnya. Dia memperhatikan putrinya itu menghampiri pesawat dan.....Sarah tertegun! Dia melihat Kartini melakukan sesuatu yang di luar dugaan. Bukannya naik ke kabin pilot, gadis itu malah membuka pintu kabin penumpang dan mengeluarkan backpack besar yang disimpan di sana. Perasaan tertegun itu berubah menjadi kekagetan ketika dilihatnya Kartini menyeret backpack itu ke pinggir atap dan mendorongnya jatuh ke jalanan jauh di bawah sana. "Apa yang kau lakukan!" teriak Sarah.

"Inilah pelajaran kedua yang kudapat dari pengalaman itu, Ma," kata Kartini, tak kalah tegas dari ibunya. "Aku mengalahkan zombie itu hanya dengan kemucing dan tongkat pengepel lantai. Kepedulian dan rasa sayang pada bonekaku memberi semangat untuk berjuang. Jadi bukan senjata dan semua tetek-bengek itu yang kubutuhkan untuk bertahan di luar sana. Yang kubutuhkan hanya sesuatu - atau seseorang - yang kuperdulikan dan kusayangi. Yang kubutuhkan di luar sana adalah dirimu, Mama."

Sarah tidak tahu harus marah atau makin terharu melihat ketegasan Kartini. Untuk sesaat dia hanya memandang putrinya tanpa berkata apa-apa, lalu kembali mengawasi gerombolan zombie yang terus bermunculan di atap. Pelurunya sudah habis. Tangannya bergeser ke tabung pelontar granat di bawah moncong senapannya. THUNK! THUNK! dan ledakan dahsyat meruntuhkan tangga beserta zombie-zombie di atasnya. Selesai sudah! Dibuangnya senapan itu, lalu berlari menghampiri Kartini. Dipeluknya erar-erat. "Ada satu hal tentangmu yang belum kusebutkan tadi, Anakku," ujarnya. "Kau ternyata juga kepala batu!"

Kartini tersenyum, "Siapa dulu dong mama-nya!"

......

Catatan: kisah ini adalah sekuel ketiga dan terakhir dari cerpen berjudul 'Mama'. Sekuel pertama berjudul 'Penyintas', sekuel kedua berjudul 'The Girl, The Doll, and The Zombie'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun