Pemerintah daerah bisa berperan lewat regulasi pembatasan impor musiman, subsidi pascapanen, dan promosi buah lokal di destinasi wisata. Tapi tanpa perubahan perilaku konsumen, semua itu hanya jadi dekorasi di atas sistem yang timpang.
9. Tentang Cinta dan Kemandirian
Goenawan Mohamad pernah menulis, "Cinta bukan sekadar perasaan, tapi keputusan untuk melihat yang rapuh sebagai sesuatu yang berharga."
Barangkali begitulah yang kita perlukan terhadap buah lokal kita---melihatnya bukan sebagai produk inferior, melainkan bagian dari kehidupan yang mesti dijaga.
Cinta pada buah lokal bukan sekadar slogan "Bangga Buatan Indonesia," tapi keputusan sadar untuk tidak selalu terpukau pada yang berkilau. Cinta itu sederhana: memilih jeruk Kintamani di atas jeruk Mandarin, bukan karena murah, tapi karena ia tumbuh di tanah yang sama dengan langkah kaki kita.
Di situ, cinta bertemu kemandirian. Dan dari kemandirian itulah lahir peradaban yang utuh.
Epilog: Buah yang Lahir dari Tanah Sendiri
Suatu pagi di pasar Gianyar, seorang ibu tua memilih pisang Bali dengan teliti. Ia menolak apel merah di sebelahnya.
"Yang ini dari kebun sendiri," katanya pelan. "Masih hangat mataharinya."
Barangkali di situlah jawaban paling sederhana tentang mengapa kita seharusnya berpihak pada buah lokal. Karena di balik setiap buah lokal, ada matahari yang sama yang menyinari tubuh kita, ada tanah yang sama yang menumbuhkan akar kita.
Dan barangkali, hanya dengan kembali mencintai buah-buah yang lahir dari bumi sendiri, kita bisa menyembuhkan satu luka lama: bahwa di negeri yang subur ini, kita tak lagi merasa cukup dengan apa yang tumbuh di halaman rumah kita sendiri. Rahayu***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI