Buah impor menguasai pasar bukan karena tanah kita tandus, tapi karena kita belum pandai menciptakan *cerita tentang buah kita sendiri.
Padahal, dunia modern justru lapar akan cerita autentik. Lihat bagaimana Jepang menjual jeruk *mikan* atau melon *Yubari King* dengan harga jutaan rupiah per buah, karena di baliknya ada kisah tentang kesabaran petani, kesucian air, dan penghormatan terhadap musim.
Kita punya semua itu. Tapi belum membingkainya dalam bahasa yang meyakinkan.
 6. Kebijakan yang Tersendat
Secara struktural, ada faktor lain yang tak kalah penting: kebijakan impor yang longgar dan infrastruktur pertanian yang belum merata.
Data Kementerian Pertanian (2024) mencatat bahwa impor buah nasional meningkat 17% dibanding tahun sebelumnya, didorong oleh permintaan pasar menengah ke atas dan sektor pariwisata. Bali, dengan lebih dari 5 juta wisatawan per tahun, menjadi salah satu pintu terbesar distribusi buah impor ke Indonesia Timur.
Hotel dan restoran lebih memilih buah impor karena ukurannya seragam, masa simpannya lama, dan pasokannya stabil. Petani lokal tak mampu memenuhi kebutuhan skala besar dengan standar yang konsisten. Akibatnya, mereka tersingkir perlahan dari rantai pasok industri pariwisata.
Padahal, di sinilah letak paradoks kedua: pariwisata yang menonjolkan keaslian Bali justru memperkaya pasar buah asing.
**7. Menumbuhkan Rasa Bangga**
Tapi harapan belum hilang. Di beberapa desa, gerakan kecil mulai tumbuh.
Komunitas petani muda di Bangli, misalnya, mulai mengemas jeruk lokal dengan label "Citrus Bali," meniru cara kerja merek luar negeri. Mereka menulis kisah asal-usulnya, mencetak logo yang elegan, dan memasarkan lewat media sosial.
Ada juga koperasi di Baturiti yang memproduksi jus strawberry lokal dengan sistem *zero waste.*
Langkah-langkah kecil itu menunjukkan satu hal: bahwa perubahan bisa dimulai dari cara kita menamai ulang hasil bumi sendiri.
Bahwa "Jeruk  Kintamani" atau "manggis Pupuan" bukan sekadar buah, tapi identitas budaya. Dan identitas, bila dikelola dengan cinta, bisa menjadi kekuatan ekonomi.
 **8. Dari Meja Konsumen ke Meja Kebijakan**
Mungkin kita perlu bertanya kembali: siapa yang sesungguhnya lebih berdaulat di tanah ini---petani atau pasar?
Jawabannya bergantung pada kesadaran kolektif kita. Ketika konsumen memilih buah lokal, ia sebenarnya sedang memilih masa depan pangan yang berdaulat. Ia mendukung ekosistem petani, menjaga keberlanjutan, dan mengembalikan makna "berkah" pada hasil bumi sendiri.