Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buah Asing di Tanah Dewata

7 Oktober 2025   06:25 Diperbarui: 7 Oktober 2025   06:25 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini bukan sekadar masalah rasa. Ini masalah imaji. Dan imaji dibentuk oleh kekuasaan simbolik.

3. Cermin Kolonial dalam Keranjang Buah

Dalam buku *Orientalism*, Edward Said menulis bahwa dunia Timur sering melihat dirinya melalui kaca mata Barat. Barangkali begitu pula yang terjadi di meja makan kita hari ini. Kita belajar mencintai yang jauh, dan malu pada yang dekat.

Buah impor di Bali menjadi simbol bagaimana modernitas sering disamakan dengan keasingan. Bahwa yang "datang dari luar" lebih maju, lebih bermutu, lebih bergengsi. Fenomena ini tidak lahir dalam semalam, tapi merupakan warisan panjang dari logika konsumsi global yang menempatkan produk lokal pada posisi inferior.

Seorang sosiolog Bali, I Ketut Sutama, menulis bahwa buah impor kini berfungsi bukan sekadar bahan pangan, tapi juga *penanda status sosial*. Seolah-olah membeli anggur impor adalah bentuk kecil dari "naik kelas." Dalam upacara adat pun, buah-buah impor sering menjadi persembahan yang dianggap lebih pantas bagi Dewa, karena lebih indah dan mahal. Ironis, bukan? Buah asing dipersembahkan di tanah yang penuh berkah.

4. Petani Lokal dan Rantai yang Panjang

Namun di balik citra mengilap buah impor, ada kisah yang lebih getir dari para petani lokal. Di Kintamani, jeruk yang melimpah sering dibeli murah oleh pengepul. Harga bisa jatuh drastis ketika panen raya, bahkan di bawah ongkos produksi. Tanpa sistem distribusi yang baik dan teknologi pascapanen yang memadai, buah lokal sulit bersaing dengan buah impor yang disuplai melalui rantai dingin (*cold chain system*) modern.

Petani di Bali umumnya masih menjual dalam bentuk segar tanpa pengemasan. Sementara di luar negeri, buah disortir, diklasifikasi, dikemas, dan dipromosikan dengan strategi branding yang matang.
Inilah titik rawan: ketika hasil bumi diserahkan ke pasar tanpa narasi, ia kalah dari yang datang dengan cerita.

Kita tak pernah membaca label " Jeruk  Kintamani -- dari tanah vulkanik Batur dengan rasa manis alami."
Yang kita lihat hanya apel tanpa merek, tak bernama, tanpa kisah. Padahal, manusia selalu membeli dengan emosi, bukan sekadar dengan logika.

5. Rantai Nilai dan Rantai Imajinasi

Globalisasi membangun dua rantai: rantai nilai (*value chain*) dan rantai imajinasi.
Yang pertama berkaitan dengan teknologi, distribusi, dan efisiensi. Yang kedua berkaitan dengan persepsi dan citra. Indonesia sering tertinggal di keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun