Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah Prof. Brian: Sebuah Satire di Kampus Perjuangan

27 September 2025   10:27 Diperbarui: 27 September 2025   10:27 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : salamganesha.com

Ada momen yang aneh tapi penting di negeri ini: seorang menteri berdiri di podium, tidak untuk meresmikan proyek, tidak untuk memotong pita, tapi untuk memberi kuliah. Kata itu---kuliah---kedengarannya sederhana. Tapi justru karena sederhana, ia menjadi langka. Sebab pejabat kita biasanya lebih suka memberi "pidato" atau "arahan." Isinya panjang, penuh jargon, berlapis-lapis slide PowerPoint, hingga pendengar bingung: apakah sedang menghadiri kuliah umum, atau rapat koordinasi yang kebetulan tersesat di kampus.

Tapi kemarin, di kampus perjuangan ITS Surabaya, Prof. Brian, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, memberi kuliah yang benar-benar terasa seperti kuliah. Lugas. Langsung ke jantung persoalan. Seperti secangkir kopi hitam yang pahit sekali, tapi justru membuat mata yang terkantuk tiba-tiba terbuka lebar.

# Mimpi yang Dipoles Angka

Prof. Brian bicara tentang mimpi. Mimpi besar kita: Indonesia menjadi negara maju. Tidak main-main, ia membawa angka: PDB per kapita harus naik tiga kali lipat. Pertumbuhan ekonomi harus lari di angka 8% per tahun.

Angka itu meluncur mulus di ruangan ber-AC. Dan seperti biasa, angka selalu patuh di mulut pejabat. Ia bisa dikutip, dipoles, bahkan disulap jadi poster. Tapi di luar ruangan, angka sering tak punya kaki. Ia jarang berjumpa dengan jalan rusak di desa, laboratorium yang kekurangan reagen, atau sekolah yang masih kebanjiran tiap hujan datang.

Prof. Brian melanjutkan: semua negara maju berdiri di atas industri hebat. Dan di balik industri hebat, selalu ada kampus hebat. Rumusnya sederhana. Terlalu sederhana, mungkin. Sebab kita tahu, di negeri ini, sering kali industri hebat justru tumbuh bukan dari riset kampus, melainkan dari impor teknologi. Kampus kadang baru sibuk meneliti setelah barangnya ada di pasar.

# Sindiran Jam Lima Sore

Lalu tibalah momen satire itu. "Bagaimana mau mengejar target," kata Prof. Brian, "kalau mentalitas kita masih mentalitas jam lima sore?"

Jam lima sore: simbol yang menampar. Di Korea Selatan, jam sembilan malam laboratorium masih penuh mahasiswa. Mereka masih presentasi progres ke dosen. Sementara di sini, jam sembilan malam mahasiswa sibuk mabar. Atau dosen sibuk membuat laporan administrasi dana penelitian---bukan isi risetnya, tapi format kwitansinya.

Kita tentu tersindir. Tapi jangan salah: sindiran ini seperti cermin berembun. Bukankah birokrasi kampus kita juga jam lima sore? Bukankah kementerian pun begitu? Lebih rajin menutup kantor tepat waktu daripada membuka solusi yang tak kunjung selesai?

Ironinya, kita menertawakan mahasiswa yang "main game," padahal pejabat kita juga sibuk main game yang lain: game anggaran. Levelnya jauh lebih tinggi, taruhannya jauh lebih besar.

#Dosen yang "Membumi"

Prof. Brian bicara tentang dosen. Dosen hebat, katanya, bukan lagi diukur dari berapa banyak tulisannya dikutip di jurnal Scopus. Bukan seberapa banyak penelitiannya tersimpan rapi di perpustakaan.

"Dosen hebat," katanya, "adalah dosen yang menerima royalti dari hasil penelitiannya."

Kedengarannya gagah. Rasional sekali. Tapi mari sejenak kita tengok laboratorium di kampus-kampus negeri ini. Banyak yang sepi, seperti rumah tua. Mikroskopnya sudah berkarat. Reagen dasar saja harus menunggu tender. Alat-alat yang mestinya dipakai riset malah terkunci rapi, hanya dibuka kalau ada tamu pejabat datang untuk foto.

Bagaimana dosen bisa menjual hasil riset, kalau sekadar membeli bahan penelitian saja harus melewati birokrasi sepanjang tol Trans-Jawa? Bagaimana mau mendapat royalti, kalau riset baru bisa dimulai setelah proposalnya diproses satu tahun---dan itu pun sering dipotong karena "alokasi dana terbatas"?

Di banyak kampus, dosen lebih sibuk mengurus laporan pertanggungjawaban daripada menulis laporan ilmiah. Riset bukan lagi pencarian ilmu, tapi pencarian tanda tangan.

#Wakil Rektor: Panglima atau Sales?

Bagian paling tajam dari kuliah itu adalah tentang Wakil Rektor Bidang Kerja Sama. Prof. Brian menyebut mereka sebagai ujung tombak. Kantor mereka, katanya, seharusnya bukan di kampus, melainkan di pabrik, di ruang rapat Kadin, di lobi kementerian.

Tugas mereka bukan menunggu proposal datang, tapi menjemput. Bahkan menciptakan.

Kedengarannya heroik. Seperti panglima perang. Tapi di kenyataan, peran itu kadang lebih mirip sales keliling. Membawa proposal ke sana ke mari, berharap ada industri yang mau melirik. Kadang ditolak di pintu depan karena satpam pabrik mengira mereka sales asuransi. Kadang ditinggal menunggu berjam-jam di ruang tunggu kementerian, hanya untuk diberi jawaban, "Nanti kita jadwalkan lagi."

Ironisnya, di dalam kampus sendiri, mereka kadang dipandang sebelah mata. "Ah, kerja sama itu urusan cari dana, bukan urusan akademik." Sementara ketika kampus kekurangan dana, semua mata justru menoleh ke mereka.

# Satire Laboratorium Kosong

Ada kisah yang sering terulang: sebuah laboratorium mendapat hibah alat canggih dari kementerian. Alatnya besar, mengkilap, nilainya miliaran. Tapi setelah diresmikan, ia jadi monumen. Tak ada teknisi yang bisa mengoperasikan. Tak ada dana untuk bahan habis. Dosen dan mahasiswa hanya melewatinya seperti patung.

Lalu ketika tim audit datang, alat itu dipoles lagi, dinyalakan sebentar, lalu mati kembali. Itulah wajah riset kita: sibuk membangun gedung, lupa membangun ekosistem.

Sementara itu, mahasiswa S2 dan S3 harus merogoh kantong sendiri untuk membeli bahan. Ada yang sampai patungan membeli reagent. Ada yang risetnya tertunda berbulan-bulan karena alat rusak. Di sinilah satire paling getir: negara bermimpi PDB tiga kali lipat, tapi satu botol bahan kimia sederhana saja harus dibeli dengan iuran mahasiswa.

 #Antara Jam 5 Sore dan Jam 9 Malam

Kuliah Prof. Brian mengakhiri dengan pilihan: mau jalan santai "jam lima sore" yang nyaman tapi buntu, atau jalan terjal "jam sembilan malam" yang melelahkan tapi menjanjikan.

Tentu, semua orang di ruangan itu bertepuk tangan. Tepuk tangan panjang, penuh semangat.

Tapi mari kita jujur: tepuk tangan di negeri ini sering berarti hal yang lain. Ia bukan tanda kebangkitan, tapi tanda kita ingin acara cepat selesai. Agar bisa segera pulang, tepat jam lima sore.

Kopi pahit Prof. Brian mungkin menyentak. Tapi negeri ini terlalu pandai minum kopi. Setelah efeknya hilang, tubuh kembali mencari kasur.

Maka satire ini menutup dengan pertanyaan: mungkinkah kita benar-benar berani bangun jam sembilan malam, ketika sebagian besar dari kita bahkan belum sanggup melawan kantuk jam lima sore? Rahayu ****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun