Ironisnya, di dalam kampus sendiri, mereka kadang dipandang sebelah mata. "Ah, kerja sama itu urusan cari dana, bukan urusan akademik." Sementara ketika kampus kekurangan dana, semua mata justru menoleh ke mereka.
# Satire Laboratorium Kosong
Ada kisah yang sering terulang: sebuah laboratorium mendapat hibah alat canggih dari kementerian. Alatnya besar, mengkilap, nilainya miliaran. Tapi setelah diresmikan, ia jadi monumen. Tak ada teknisi yang bisa mengoperasikan. Tak ada dana untuk bahan habis. Dosen dan mahasiswa hanya melewatinya seperti patung.
Lalu ketika tim audit datang, alat itu dipoles lagi, dinyalakan sebentar, lalu mati kembali. Itulah wajah riset kita: sibuk membangun gedung, lupa membangun ekosistem.
Sementara itu, mahasiswa S2 dan S3 harus merogoh kantong sendiri untuk membeli bahan. Ada yang sampai patungan membeli reagent. Ada yang risetnya tertunda berbulan-bulan karena alat rusak. Di sinilah satire paling getir: negara bermimpi PDB tiga kali lipat, tapi satu botol bahan kimia sederhana saja harus dibeli dengan iuran mahasiswa.
 #Antara Jam 5 Sore dan Jam 9 Malam
Kuliah Prof. Brian mengakhiri dengan pilihan: mau jalan santai "jam lima sore" yang nyaman tapi buntu, atau jalan terjal "jam sembilan malam" yang melelahkan tapi menjanjikan.
Tentu, semua orang di ruangan itu bertepuk tangan. Tepuk tangan panjang, penuh semangat.
Tapi mari kita jujur: tepuk tangan di negeri ini sering berarti hal yang lain. Ia bukan tanda kebangkitan, tapi tanda kita ingin acara cepat selesai. Agar bisa segera pulang, tepat jam lima sore.
Kopi pahit Prof. Brian mungkin menyentak. Tapi negeri ini terlalu pandai minum kopi. Setelah efeknya hilang, tubuh kembali mencari kasur.
Maka satire ini menutup dengan pertanyaan: mungkinkah kita benar-benar berani bangun jam sembilan malam, ketika sebagian besar dari kita bahkan belum sanggup melawan kantuk jam lima sore? Rahayu ****