Ironinya, kita menertawakan mahasiswa yang "main game," padahal pejabat kita juga sibuk main game yang lain: game anggaran. Levelnya jauh lebih tinggi, taruhannya jauh lebih besar.
#Dosen yang "Membumi"
Prof. Brian bicara tentang dosen. Dosen hebat, katanya, bukan lagi diukur dari berapa banyak tulisannya dikutip di jurnal Scopus. Bukan seberapa banyak penelitiannya tersimpan rapi di perpustakaan.
"Dosen hebat," katanya, "adalah dosen yang menerima royalti dari hasil penelitiannya."
Kedengarannya gagah. Rasional sekali. Tapi mari sejenak kita tengok laboratorium di kampus-kampus negeri ini. Banyak yang sepi, seperti rumah tua. Mikroskopnya sudah berkarat. Reagen dasar saja harus menunggu tender. Alat-alat yang mestinya dipakai riset malah terkunci rapi, hanya dibuka kalau ada tamu pejabat datang untuk foto.
Bagaimana dosen bisa menjual hasil riset, kalau sekadar membeli bahan penelitian saja harus melewati birokrasi sepanjang tol Trans-Jawa? Bagaimana mau mendapat royalti, kalau riset baru bisa dimulai setelah proposalnya diproses satu tahun---dan itu pun sering dipotong karena "alokasi dana terbatas"?
Di banyak kampus, dosen lebih sibuk mengurus laporan pertanggungjawaban daripada menulis laporan ilmiah. Riset bukan lagi pencarian ilmu, tapi pencarian tanda tangan.
#Wakil Rektor: Panglima atau Sales?
Bagian paling tajam dari kuliah itu adalah tentang Wakil Rektor Bidang Kerja Sama. Prof. Brian menyebut mereka sebagai ujung tombak. Kantor mereka, katanya, seharusnya bukan di kampus, melainkan di pabrik, di ruang rapat Kadin, di lobi kementerian.
Tugas mereka bukan menunggu proposal datang, tapi menjemput. Bahkan menciptakan.
Kedengarannya heroik. Seperti panglima perang. Tapi di kenyataan, peran itu kadang lebih mirip sales keliling. Membawa proposal ke sana ke mari, berharap ada industri yang mau melirik. Kadang ditolak di pintu depan karena satpam pabrik mengira mereka sales asuransi. Kadang ditinggal menunggu berjam-jam di ruang tunggu kementerian, hanya untuk diberi jawaban, "Nanti kita jadwalkan lagi."