Ada momen yang aneh tapi penting di negeri ini: seorang menteri berdiri di podium, tidak untuk meresmikan proyek, tidak untuk memotong pita, tapi untuk memberi kuliah. Kata itu---kuliah---kedengarannya sederhana. Tapi justru karena sederhana, ia menjadi langka. Sebab pejabat kita biasanya lebih suka memberi "pidato" atau "arahan." Isinya panjang, penuh jargon, berlapis-lapis slide PowerPoint, hingga pendengar bingung: apakah sedang menghadiri kuliah umum, atau rapat koordinasi yang kebetulan tersesat di kampus.
Tapi kemarin, di kampus perjuangan ITS Surabaya, Prof. Brian, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, memberi kuliah yang benar-benar terasa seperti kuliah. Lugas. Langsung ke jantung persoalan. Seperti secangkir kopi hitam yang pahit sekali, tapi justru membuat mata yang terkantuk tiba-tiba terbuka lebar.
# Mimpi yang Dipoles Angka
Prof. Brian bicara tentang mimpi. Mimpi besar kita: Indonesia menjadi negara maju. Tidak main-main, ia membawa angka: PDB per kapita harus naik tiga kali lipat. Pertumbuhan ekonomi harus lari di angka 8% per tahun.
Angka itu meluncur mulus di ruangan ber-AC. Dan seperti biasa, angka selalu patuh di mulut pejabat. Ia bisa dikutip, dipoles, bahkan disulap jadi poster. Tapi di luar ruangan, angka sering tak punya kaki. Ia jarang berjumpa dengan jalan rusak di desa, laboratorium yang kekurangan reagen, atau sekolah yang masih kebanjiran tiap hujan datang.
Prof. Brian melanjutkan: semua negara maju berdiri di atas industri hebat. Dan di balik industri hebat, selalu ada kampus hebat. Rumusnya sederhana. Terlalu sederhana, mungkin. Sebab kita tahu, di negeri ini, sering kali industri hebat justru tumbuh bukan dari riset kampus, melainkan dari impor teknologi. Kampus kadang baru sibuk meneliti setelah barangnya ada di pasar.
# Sindiran Jam Lima Sore
Lalu tibalah momen satire itu. "Bagaimana mau mengejar target," kata Prof. Brian, "kalau mentalitas kita masih mentalitas jam lima sore?"
Jam lima sore: simbol yang menampar. Di Korea Selatan, jam sembilan malam laboratorium masih penuh mahasiswa. Mereka masih presentasi progres ke dosen. Sementara di sini, jam sembilan malam mahasiswa sibuk mabar. Atau dosen sibuk membuat laporan administrasi dana penelitian---bukan isi risetnya, tapi format kwitansinya.
Kita tentu tersindir. Tapi jangan salah: sindiran ini seperti cermin berembun. Bukankah birokrasi kampus kita juga jam lima sore? Bukankah kementerian pun begitu? Lebih rajin menutup kantor tepat waktu daripada membuka solusi yang tak kunjung selesai?