Ia membaca berulang-ulang, seakan tak ingin kehilangan rasa yang muncul dari kalimat itu. Ia teringat bagaimana istrinya selalu bangun lebih awal, menyiapkan sarapan, lalu tersenyum saat ia berangkat. Senyum yang kadang lebih berharga daripada segenggam emas.
“Semoga harimu selalu penuh berkah, semangat, dan kebahagiaan.”
Kalimat itu bukan sekadar harapan. Ia tahu, itu adalah doa yang sungguh-sungguh. Doa seorang istri yang tak pernah ia dengar lantang, tapi selalu ia rasakan dalam setiap langkah.
Dan bagian terakhir membuat hatinya luluh: “Aku juga bersyukur bisa memilikimu dalam hidupku.”
Betapa sederhana, betapa dalam. Bukankah hidup yang indah tak perlu rumit? Cukup ada seseorang yang berkata, “Aku bersyukur memilikimu,” maka seluruh beban pun terasa ringan.
Rumah Bernama Cinta
Bagi lelaki itu, rumah bukan sekadar bangunan dengan dinding dan atap. Rumah adalah tempat jiwa menemukan ketenangan. Rumah adalah ketika istrinya berkata, “Aku bersyukur memilikimu.” Rumah adalah ketika anak-anaknya memeluknya tanpa alasan. Rumah adalah ketika kelelahan berubah jadi rasa syukur karena ada cinta yang menyambut.
Cinta memang bukan perkara besar. Ia bukan selalu pesta, bukan selalu hadiah mahal, bukan pula kata-kata manis yang dipamerkan di hadapan orang lain. Cinta, sebagaimana ia alami, adalah hal-hal kecil yang konsisten dilakukan. Segelas teh hangat di pagi buta. Doa yang diselipkan tanpa suara. Tatapan mata yang penuh pengertian meski tak ada kata.
Dan pagi itu, ia merasa rumahnya semakin kokoh. Bukan karena temboknya, melainkan karena doa dan kata-kata lembut yang istrinya berikan.
Dialog dengan Diri
Sambil menyeruput kopi, ia berbicara dengan dirinya sendiri.