Hari kedua di Singapura datang seperti tamu istimewa. Dari jendela tinggi Hotel Conrad Centennial, cahaya matahari merayap lembut, menyelinap di antara tirai putih yang bergoyang oleh hembusan pendingin udara. Gedung-gedung kaca di Marina Bay bersinar bagaikan kristal, memantulkan langit yang baru saja dibasuh fajar. Jalanan di bawah mulai ramai. Orang-orang bergegas: pegawai kantor melangkah cepat, wisatawan berjalan dengan kamera tergantung di leher, dan pedagang kecil membuka lapak.
Putri, dengan rambut tergerai dan piyama sederhana, duduk di kursi rotan dekat jendela. Tangannya memegang cangkir teh hangat, sementara matanya menatap keluar. Ia tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih banyak berisi renungan. Hari ini, ia tahu, bukan sekadar hari kedua perjalanan, melainkan hari kedua sebuah pelajaran yang mungkin akan mengubah caranya memandang bisnis, bahkan kehidupan.
Pelajaran dari Mami
Ingatan tentang percakapan dengan mami semalam masih melekat.
"Tidak semua orang bisa menganalisa seperti mami dan papi. Mami sendiri butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai di titik ini. Semua karena fokus. Mami benar-benar menekuni analisa jangka pendek. Dan sekarang, mami lebih nyaman di scalping. Itu yang membuat mami tenang."
Putri mendengarnya dengan hati bergetar. Kata-kata itu sederhana, tetapi maknanya dalam. Mami tidak sedang membanggakan diri, melainkan sedang mengajarkan bahwa kemampuan lahir dari latihan panjang, dari konsistensi, dari tekad yang tidak tergoyahkan.
Bagi Putri, pesan itu terasa seperti peta. Di dunia bisnis yang penuh keraguan, di tengah pasar yang bergerak cepat, ia tahu harus menemukan pijakan. Dan scalping---istilah yang baru ia kenal---menjadi semacam kunci.
Scalping dan Denyut Kota
Dari jendela Conrad, Putri menatap Singapura yang sibuk. Ia teringat penjelasan mami: scalping adalah mengambil keuntungan kecil, berulang kali, dengan fokus tinggi. Dan tiba-tiba, ia melihat Singapura dengan cara berbeda.