“Aku hanyalah kapal yang beruntung menemukan mercusuar di tengah samudra. Kau adalah panduanku.”
Kau tertawa pelan, menyandarkan kepala di bahuku. Detak jantungmu seirama dengan detakku. Dua irama berbeda, namun saling melengkapi.
Hari-hari kami dipenuhi rutinitas sederhana: menyusuri pantai, duduk di beranda sambil menyeruput kopi, atau diam bersama sambil menatap laut. Kadang aku menulis puisi, kau membacanya, lalu tersenyum. Setiap senyumanmu, setiap tatapan, mengingatkanku bahwa cinta kami adalah lautan biru yang tak pernah kering.
Suatu sore, langit mulai gelap, kau berkata, “Aku takut, suatu hari ombak akan memisahkan kita.”
Aku meraih tanganmu. “Ombak bisa mencoba, tapi aku selalu menemukanmu. Laut ini luas, tapi cintaku lebih luas dari itu.”
Kau tertawa pelan, bersandar di dadaku. Aku membiarkanmu berada di sana, di tempat yang aman, di mana ombak tak bisa mengganggu.
Malam itu, di tepi pantai, suara laut menjadi lagu pengantar tidur. Aku menatap wajahmu yang damai, rambutmu basah oleh embun laut. “Kau tahu?” kataku. “Aku selalu menemukan pagi di wajahmu.”
Kau tersenyum dalam tidur, seolah mengiyakan. Aku menarik selimut menutupi tubuhmu, menatap langit penuh bintang. Lautan biru terbentang luas, gelap, namun tak menakutkan. Sebab aku tahu ada cahaya di dekatku—cahaya yang lahir dari wajahmu.
Musim berganti. Laut tetap biru, luas, penuh misteri. Aku belajar satu hal: mencintaimu adalah perjalanan tanpa pelabuhan akhir. Aku tak ingin berlabuh, karena kebahagiaan ada dalam perjalanan itu sendiri.
Suatu senja, matahari perlahan turun ke laut. Kau berkata, “Aku akhirnya mengerti. Pagi bukan milik matahari. Pagi adalah milik kita—selama kita saling menjaga, seperti laut menjaga rahasianya.”
Aku tersenyum, menatap wajahmu yang bercahaya. Putih bersih, penuh pusaran jiwa yang membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.