Kau menitikkan air mata. Hujan yang mulai turun di kejauhan menyamarkannya, tapi aku tahu. Aku meraihmu dalam pelukan, mencoba meyakinkan bahwa cinta ini tak akan hilang, meski badai datang berkali-kali.
Beberapa minggu kemudian, kami berlayar di atas perahu kecil. Laut tampak tenang, hampir polos, dihiasi riak lembut. Aku memegang dayung, kau duduk di depan, menatap horizon biru yang tak bertepi.
“Kalau laut ini dunia,” katamu, “aku ingin selalu berlayar bersamamu, bahkan jika badai datang.”
Aku tersenyum. “Kalau dunia adalah laut, aku akan menjadi mercu suaramu, menuntunmu kembali ke pantai kapan pun kau tersesat.”
Kau menoleh, matamu bersinar. “Aku senang kau berkata begitu.”
Di tengah hamparan biru yang luas, aku merasakan ketenangan yang tak pernah kurasakan. Laut seakan memberkati cinta kami, mengajarkan bahwa dua hati bisa bersatu, meski dunia kadang keras.
Suatu pagi, kami bangun lebih awal. Kabut masih tipis, tapi sinar mentari mulai menembus, membuat permukaan laut berkilau seperti tumpukan mutiara. Aku menarikmu ke tepian perahu, menggenggam tanganmu erat.
“Lihatlah laut ini,” kataku. “Indah, tapi tak seindah dirimu.”
Kau tersenyum, menunduk malu. “Kau selalu terlalu manis.”
“Tapi ini jujur. Kau seperti pagi yang lahir dari lautan biru. Segar, menenangkan, selalu memberi harapan.”
Kau menatapku lama. “Dan kau?”