Aku tersenyum. “Dan kita seperti kapal yang berlayar di atasnya. Kalau saling percaya, kita bisa menyeberang sejauh apa pun.”
Kau menoleh padaku, menatap dalam-dalam. Ombak kecil memercik di kaki kita, menciptakan kilauan cahaya yang menari di kulit. Aku merasakan pusaran jiwa di matamu yang menarikku, seperti gelombang yang mengundang kapal untuk berlabuh.
Angin bertiup lebih kencang, mengibaskan rambutmu yang hitam panjang. Aku ingin merapikannya, tapi kutahan. Ada sesuatu yang indah dalam ketidakteraturan itu—seperti ombak yang bergerak bebas tapi tetap indah.
“Tak takut?” tanyamu tiba-tiba.
“Apa yang harus kutakuti?”
“Kehilangan. Seperti ombak yang datang lalu pergi, buih yang sebentar ada lalu hilang.”
Aku menatap laut lepas. Ombak datang silih berganti, berirama tak pernah henti. “Kalau cinta seperti laut, aku tak takut. Meski ombaknya berubah, laut tetaplah laut. Begitu juga cintaku padamu.”
Kau menunduk, menyandarkan kepala di bahuku. Aku merasakan kehangatanmu, bertentangan dengan angin dingin. Saat itu aku sadar, kau bukan sekadar bagian pagi, kau adalah seluruh laut yang menampung semua harapan dan rasa.
Hari-hari berikutnya, laut menjadi saksi. Kadang kita berjalan di tepi pantai, meninggalkan jejak kaki yang dihapus ombak. Kadang kita duduk di beranda perahu, menatap luasnya biru tanpa kata. Kadang kita bertengkar, seperti dua ombak yang saling beradu, tapi akhirnya selalu kembali tenang, karena laut selalu menemukan keseimbangan.
Suatu sore, langit jingga dan burung-burung berterbangan kembali ke sarang. Kau bertanya, “Kalau suatu hari aku bukan lagi bagian dari pagimu, apa yang akan kau lakukan?”
Aku menatapmu, hatiku tercekat. “Aku akan tetap menulis tentangmu. Pagi tanpa dirimu hanyalah malam yang gagal berakhir. Laut tanpamu hanyalah cekungan kosong tanpa gelombang.”