Namun, di balik drama itu, ada implikasi serius: tes DNA bisa dijadikan senjata politik. Bayangkan jika hasilnya diumumkan hanya sebagian, atau data mentahnya tak pernah dipublikasikan. Siapa yang bisa menjamin tidak ada "intervensi"?
Dalam sistem hukum, hal ini sangat mungkin terjadi. Beety menulis, di banyak kasus, pengacara pembela tidak mendapat akses penuh ke data DNA. Mereka hanya menerima "laporan ringkas"---selembar kertas dengan satu kalimat: cocok atau tidak cocok. Sementara catatan laboratorium lengkap, yang bisa mengungkap kesalahan mesin atau kontaminasi, disimpan rapat oleh jaksa.
Apakah pola serupa mungkin terjadi di sini? Jawabannya: tentu saja.
DNA: Dari Laboratorium ke Panggung Politik
Ada ironi besar di sini. Di satu sisi, teknologi DNA lahir untuk membawa kebenaran ilmiah. Tapi di sisi lain, ia dipakai seperti "cap stempel birokrasi: sekali diketok, maka tak terbantahkan".
Bagi politisi, hasil tes DNA bisa jadi senjata pamungkas. Lupakan survei elektabilitas atau strategi kampanye: cukup keluarkan hasil tes DNA, maka media akan bergemuruh. Publik tak lagi membahas program kerja, tapi sibuk menebak siapa ayah biologis siapa.
Mungkin di masa depan, kita akan melihat baliho kampanye berbunyi:
 "Pilihlah aku, DNA-ku 100% asli!"
Satire? Ya. Tapi juga mungkin sekali terjadi.
 Pemalsuan DNA: Bukan Sekadar Teori
Lalu, bisakah tes DNA dipalsukan? Jawaban ilmiahnya: "bisa"