Orang-orang di kota itu masih bercerita, di warung kopi yang berasap tembakau kretek, tentang suatu pagi ketika Abu Nawas kembali menguji kecerdikan manusia. Mereka menyebutnya sebuah kisah lucu. Tapi sebagaimana kerap terjadi dalam kisah Abu Nawas, kelucuan hanyalah pintu masuk: di baliknya ada cermin.
Hari itu, seorang hakim terkenal sedang duduk di kursi kebesarannya. Jubahnya panjang, wajahnya dihiasi janggut yang ia rawat dengan minyak wangi dari negeri jauh. Orang menyebutnya hakim yang bijak. Tapi di bawah jubahnya, terselip sesuatu yang lebih pekat dari wangi gaharu: kerakusan.
Hakim itu dikenal pandai menyembunyikan tamaknya dengan kalimat-kalimat manis. Ia menyebut dirinya "pelayan keadilan". Tapi rakyat tahu, bila ingin keputusan yang adil, ada harga yang harus dibayar. Dan harga itu bukan sekadar kepingan emas, melainkan kehormatan, kadang juga masa depan.
Pada pagi itu, datanglah seorang saudagar yang resah. Ia dituduh merampas sebidang tanah. Saudagar itu yakin dirinya benar, tapi ia tahu, kebenaran sering kalah bila berhadapan dengan perut hakim yang lapar. Maka ia pergi kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas," katanya dengan wajah kusut, "aku akan kalah bila hanya mengandalkan kebenaran. Hakim itu tak pernah kenyang."
Abu Nawas tersenyum. "Kalau begitu, biarkan ia menelan lebih dari yang bisa ia kunyah."
Maka ketika persidangan dimulai, saudagar itu berdiri di hadapan hakim. Di ruang pengadilan yang sesak, orang-orang menunggu: bagaimana keputusan akan jatuh? Hakim itu mengelus janggutnya, menatap dengan mata penuh perhitungan.
"Apakah kau punya bukti?" tanya hakim dengan suara dalam.
Saudagar itu hendak menjawab, tapi Abu Nawas menyelanya. "Yang Mulia," katanya sambil membungkuk, "saudaraku ini membawa bukti yang sangat istimewa. Tapi karena begitu berharga, ia menyimpannya dengan aman, dan hanya akan menyerahkannya bila Yang Mulia berjanji akan merahasiakan."
Hakim itu mengernyit. Kata "berharga" membuat telinganya berdiri.
"Baik," katanya, "aku berjanji. Serahkan padaku."
Abu Nawas mendekat, lalu berkata pelan, "Bukti itu bukan selembar surat, bukan pula saksi. Bukti itu adalah sebuah hadiah yang akan membuktikan betapa jujurnya saudaraku."
Hakim itu makin tertarik. "Di mana hadiahnya?"
"Di rumahku," jawab Abu Nawas, "tapi hanya akan kuberikan setelah Yang Mulia membacakan putusan yang adil."
Maka mulailah permainan. Hakim itu membaca berlembar-lembar dokumen, mendengarkan saksi-saksi. Tapi pikirannya sudah terbang ke rumah Abu Nawas: hadiah apakah yang begitu berharga? Emas? Permata? Atau barang antik dari negeri jauh?
Ketika tiba waktunya memutuskan, hakim itu berkata lantang, "Setelah menimbang segala bukti, aku memutuskan: tanah itu sah milik saudagar ini."
Ruang sidang riuh. Saudagar itu bersyukur, dan Abu Nawas tersenyum tenang. Hakim itu pun segera memanggilnya, "Sekarang, bawa aku ke rumahmu."
Abu Nawas mengangguk. Mereka berjalan bersama, diikuti mata penasaran orang-orang kota. Sesampainya di rumah sederhana itu, Abu Nawas mempersilakan hakim duduk di bale bambu yang agak reot.
"Mana hadiahnya?" desak hakim.
Abu Nawas menatapnya lekat-lekat, lalu berkata, "Hadiah itu, Yang Mulia, adalah kepuasan melihat seorang hakim akhirnya memutuskan perkara dengan adil tanpa disuap."
Hening.
Wajah hakim memerah. Ia baru sadar telah terperangkap. Tak ada emas, tak ada permata. Hanya sebuah cermin: tamaknya sendiri.
"Apakah kau berani mempermainkanku?" bentaknya.
Abu Nawas menjawab tenang, "Tidak, Yang Mulia. Aku hanya menunjukkan bahwa bila kau mengira ada hadiah, kau bisa berlaku adil. Artinya, kau bukan hakim yang lapar keadilan, melainkan lapar hadiah."
Orang-orang di luar rumah terbahak. Kabar itu menyebar cepat, lebih cepat dari angin yang berhembus di pasar. Hakim itu kehilangan wibawa. Dan untuk beberapa waktu, ia mencoba menutupi tamaknya dengan keputusan-keputusan yang benar-benar adil.
Namun kota itu tetap tahu: keadilan yang lahir karena iming-iming hadiah, hanya sementara.
Seperti biasa, cerita Abu Nawas berakhir dengan tawa. Tapi di balik tawa itu, ada kegelisahan yang sulit dihapus. Kita pun teringat, betapa sering pengadilan di dunia nyata tak jauh berbeda. Putusan lahir bukan dari neraca kebenaran, melainkan dari kantong-kantong yang berisi.
Goenawan Mohamad, bila menuliskannya dalam Catatan Pinggir, mungkin akan menambahkan: bahwa kekuasaan yang lapar tak pernah kenyang oleh hukum. Ia hanya berhenti sejenak, menunggu hadiah berikutnya.
Maka kita diajak bertanya: apakah keadilan masih mungkin bila ia harus selalu diiringi hadiah? Ataukah yang disebut keadilan hanyalah topeng dari selera pribadi, yang berganti bentuk sesuai siapa yang berani memberi lebih banyak?
Di kota itu, orang-orang tetap menceritakan kisah Abu Nawas. Bukan karena mereka yakin hakim akan berubah selamanya, melainkan karena mereka butuh alasan untuk tetap percaya bahwa kecerdikan bisa menaklukkan kerakusan.
Mungkin, seperti yang sering terjadi dalam kisah Abu Nawas, kebenaran tidak datang dengan pedang, melainkan dengan tawa yang menyingkap borok yang disembunyikan.
Dan tawa itu, betapapun getir, adalah cara rakyat kecil bertahan. Karena untuk mereka yang tak punya emas, tak punya permata, dan tak punya kekuasaan, hanya ada satu senjata: kisah.
Sebuah kisah yang akan terus diulang, sampai para hakim mengerti bahwa hadiah paling berharga bukanlah harta, melainkan nama baik yang tak ternoda.Rahayu**** Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI