Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abu Nawas dan Hakim yang Tamak: Ketika Keadilan Dijual di Pasar Gelap

2 Agustus 2025   09:28 Diperbarui: 2 Agustus 2025   09:28 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abu Nawas menjawab tenang, "Tidak, Yang Mulia. Aku hanya menunjukkan bahwa bila kau mengira ada hadiah, kau bisa berlaku adil. Artinya, kau bukan hakim yang lapar keadilan, melainkan lapar hadiah."

Orang-orang di luar rumah terbahak. Kabar itu menyebar cepat, lebih cepat dari angin yang berhembus di pasar. Hakim itu kehilangan wibawa. Dan untuk beberapa waktu, ia mencoba menutupi tamaknya dengan keputusan-keputusan yang benar-benar adil.

Namun kota itu tetap tahu: keadilan yang lahir karena iming-iming hadiah, hanya sementara.

Seperti biasa, cerita Abu Nawas berakhir dengan tawa. Tapi di balik tawa itu, ada kegelisahan yang sulit dihapus. Kita pun teringat, betapa sering pengadilan di dunia nyata tak jauh berbeda. Putusan lahir bukan dari neraca kebenaran, melainkan dari kantong-kantong yang berisi.

Goenawan Mohamad, bila menuliskannya dalam Catatan Pinggir, mungkin akan menambahkan: bahwa kekuasaan yang lapar tak pernah kenyang oleh hukum. Ia hanya berhenti sejenak, menunggu hadiah berikutnya.

Maka kita diajak bertanya: apakah keadilan masih mungkin bila ia harus selalu diiringi hadiah? Ataukah yang disebut keadilan hanyalah topeng dari selera pribadi, yang berganti bentuk sesuai siapa yang berani memberi lebih banyak?

Di kota itu, orang-orang tetap menceritakan kisah Abu Nawas. Bukan karena mereka yakin hakim akan berubah selamanya, melainkan karena mereka butuh alasan untuk tetap percaya bahwa kecerdikan bisa menaklukkan kerakusan.

Mungkin, seperti yang sering terjadi dalam kisah Abu Nawas, kebenaran tidak datang dengan pedang, melainkan dengan tawa yang menyingkap borok yang disembunyikan.

Dan tawa itu, betapapun getir, adalah cara rakyat kecil bertahan. Karena untuk mereka yang tak punya emas, tak punya permata, dan tak punya kekuasaan, hanya ada satu senjata: kisah.

Sebuah kisah yang akan terus diulang, sampai para hakim mengerti bahwa hadiah paling berharga bukanlah harta, melainkan nama baik yang tak ternoda.Rahayu****  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun