Saya ingin menutup dengan renungan yang sedikit personal. Membaca Kwik, saya teringat percakapan dengan seorang kawan di sebuah warung kopi di Klungkung. Ia berkata, "Kemerdekaan itu kalau anakku bisa sekolah tanpa aku harus menjual sawah."
Kalimat sederhana itu, rasanya, lebih tajam daripada pidato panjang di televisi. Dan di sanalah inti dari buku Kwik: kemerdekaan bukan soal bendera di tiang tinggi, melainkan soal apakah rakyat kecil bisa hidup tanpa ketakutan akan besok.
Kwik Kian Gie menulis bukan untuk menyenangkan penguasa, melainkan untuk menggugah kesadaran. Ia tahu bukunya mungkin dilupakan, tapi ia tetap menulis --- seperti orang yang menyalakan lilin kecil di tengah malam panjang.
Mungkin lilin itu tidak cukup untuk menerangi seluruh negeri. Tapi siapa tahu, dari sinar kecil itu, kita belajar bahwa nasib rakyat Indonesia masih bisa ditulis ulang. Selamat Jalan Pak Kwik, moga  damai di alam sana***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI