Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasib Rakyat Indonesia: Membaca Kwik Kian Gie dalam Senyap Zaman

30 Juli 2025   09:33 Diperbarui: 30 Juli 2025   09:33 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : beritasatu.com

Kwik, yang pernah duduk di kursi Menko Ekuin, tahu betul mesin kekuasaan tidak sesederhana kata-kata. Ia melihat dari dekat bagaimana keputusan-keputusan besar kerap tak memihak mereka yang kecil. Ia mengakui, ada juga yang mencoba, tapi sistem terlalu ruwet, terlalu penuh kepentingan. Sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin tetap menunggu mukjizat.

Dalam satu bab, Kwik menyinggung utang luar negeri, investasi asing, dan liberalisasi ekonomi. Katanya, bangsa ini terjebak dalam lingkaran ketergantungan. Modal besar datang dengan syarat yang tak terlihat, dan kita menerimanya demi angka pertumbuhan. Tapi, seperti kertas kontrak yang halamannya tersembunyi, rakyat membayar harganya --- dengan tanah yang hilang, pekerjaan yang tak pasti, dan harga yang kian melambung.

Namun, buku ini bukan sekadar keluhan. Kwik mencoba memberi jalan, meski ia sadar jalannya tidak mudah. Ia bicara tentang pentingnya negara hadir --- bukan sekadar regulator, melainkan pelindung. Ia menekankan perlunya distribusi aset, reforma agraria yang nyata, keberpihakan pada UMKM, dan keberanian menolak ketergantungan buta pada modal asing.

Di sini, saya teringat pada wajah-wajah yang sering kita jumpai di jalan-jalan kota: pedagang kecil yang menata dagangan di tikar lusuh, sopir angkot yang menghitung receh di sela lampu merah, ibu-ibu yang berjualan sayur dari pintu ke pintu. Mereka tidak tercatat dalam statistik resmi, tapi merekalah denyut republik.

Kwik ingin kita melihat mereka bukan sekadar "sektor informal", tetapi manusia yang punya hak atas kemerdekaan. Sebab, apakah arti 17 Agustus bila seorang bapak tetap harus menimbang antara membeli beras atau obat untuk anaknya?

Di banyak hal, tulisan Kwik terasa pahit. Tapi kepahitan itu jujur. Ia menolak menjadi manis di lidah kekuasaan. Dan mungkin, di situlah letak nilai buku ini: ia mengajak kita berhenti sejenak dari euforia, dan bertanya, apa yang sebenarnya kita rayakan setiap tahun?

Apakah benar kita merdeka, bila harga beras masih ditentukan permainan kartel? Apakah kita merdeka, bila buruh di pabrik harus bekerja 12 jam untuk gaji yang tak cukup menyekolahkan anaknya? Apakah kita merdeka, bila tanah di desa-desa dijual murah ke investor, sementara pemilik aslinya berubah jadi buruh di tanah sendiri?

Kwik tidak menjawab dengan retorika. Ia memberi data, analisis, tapi lebih dari itu: ia meminjamkan kejujurannya

Tentu, ada yang bisa tidak sepakat. Ada yang berkata, "Bukankah kita sudah jauh lebih baik daripada 50 tahun lalu?" Dan benar, listrik kini menjangkau hampir seluruh desa, internet masuk ke kampung-kampung, jalan tol menghubungkan kota-kota.

Tapi Kwik mengingatkan: kemajuan yang tampak tidak selalu berarti keadilan yang nyata. Ketimpangan justru melebar. Segelintir keluarga menguasai porsi besar kekayaan nasional. Sementara di sisi lain, jutaan keluarga masih menunggu giliran untuk sekadar punya rumah layak.

Mungkin di sinilah kita menemukan paradoks kemerdekaan: negara merdeka, rakyat belum tentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun