Mohon tunggu...
Novi Setiany
Novi Setiany Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

Kehidupan adalah universitas tempat menimba ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Cinta

29 Juli 2019   19:35 Diperbarui: 29 Juli 2019   19:54 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jika aku tak dapat mencintaimu layaknya seorang perempuan terhadap laki-laki.

Maka, izinkan aku mencintaimu sebagai sesama Muslim karena Allah."

Cinta adalah salah satu anugerah terindah yang Tuhan beri diantara keindahan-keindahan yang lain. Tiada kata yang kuasa untuk melukiskan keagungannya. Aku merasakan cinta pada Rasa Kasih Tuhan yang tak ternilai. Pada saat melihat keringat Ayah yang bercucuran, atau pada suatu keadaan Ibu memeluk tubuhku dengan hangat. Di sana aku temukan cinta.

Namun, kala itu berbeda. Aku menemukan cinta yang lain, perasaan yang tak sama dari apa yang kurasa sebelumnya. Berawal saat mataku dengan berani menatap seseorang yang tak sadar telah kukagumi mulai detik itu. Saat bibirnya berucap, yang kudengar hanya sajak-sajak indah berirama. Dia seperti penyair yang melantunkan bait-bait puisi pada hatiku. Seperti oasis di tengah gurun panas yang mencengkram. Apakah ini namanya jatuh cinta seperti yang dikatakan teman-teman? Rasanya tak mungkin. Untuk masalah cinta yang ini, aku telah berjanji pada diri sendiri hanya akan mencintai suamiku saja.

Namanya adalah Muhamad Ihsan. Kami bertemu di sebuah kegiatan seminar literasi dua tahun yang lalu. Dia adalah salah satu pengisi sekaligus narasumber di acara itu. Setelah selesai, di akhir diadakan pendaftaran pelatihan kelas menulis untuk pemula. Tak pikir panjang, aku langsung mendaftarkan diri saat itu juga karena ketertarikanku di dunia kepenulisan sudah cukup lama.

Pada mulanya biasa saja. Aku seperti peserta lain menyimak kata demi kata yang terlontar dari bibirnya. Sebagai mentor, tentu saja ia selalu baik pada siapapun yang bertanya atau meminta pendapat tentang tulisan yang mereka buat. Suatu hari kami ditugaskan membuat sebuah tulisan. Dia mendatangi setiap kursi, lalu mengamati berbagai karya yang teman-temanku buat. Kulihat ekspresi mereka semua gembira karena mendapat pujian dari Kak Ihsan. Beberapa menit berlalu, dia mulai mendekat ke kursiku. Ia tak berbicara apa-apa, melainkan mencoret-coret isi cerita yang aku buat dengan pena berwarna-warni. Aku bertanya kenapa tanpa melihat sedikitpun ke arahnya. Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya menyuruhku untuk melihat karya yang teman-temanku buat.

Setelah kelas usai, aku langsung membandingkan tulisanku dengan teman-teman. Tak ada yang aneh. Bahkan menurutku tulisan yang kubuat lebih rapi dari yang lain. Saat itu juga kakiku langsung beranjak keluar mencari Kak Ihsan untuk meminta penjelasan. Dari jauh kulihat ia sedang berjalan menuju parkiran motor. Aku bergegas lari sebelum lelaki itu pergi.

"Tunggu," kataku sedikit berteriak.

Kak Ihsan yang baru saja menyalakan mesin motornya, menoleh ke arahku.

"Iya?"

"Maaf, Kak. Setelah saya bandingkan dengan yang lain, tulisan saya tidak ada yang salah bahkan cenderung lebih rapi. Bisa tolong jelaskan alasan Kakak mencoret-coret karya saya seperti ini?"

"Duh, saya gak kuat ini lapar."

"Kalau dipertemuan selanjutnya, bisa?"

"Sepertinya tidak. Saya kalau menjelaskan kesalahan tulisan orang, harus hari itu juga."

"Lalu bagaimana?" Aku sedikit kesal dengan jawabannya.

"Kamu naik ke motor saya."

"Saya?" jawabku kaget.

Kak Ihsan mengangguk pelan.

"Tidak apa-apa, insyaallah aman. Nanti setelah saya beres makan, saya kasih tau kesalahanmu apa."

Tidak ada pilihan lain. Aku langsung menaiki motornya. Aku percaya dia orang yang baik bahkan untuk berbuat yang macam-macam rasanya tidak mungkin karena dia juga cukup terpandang. Tapi ini adalah kali pertamanya aku dibonceng oleh seorang laki-laki yang bukan mahram. Meskipun dia mentorku, tapi perasaan risih itu tak dapat dielakkan.

Tiga puluh menit dalam keheningan, aku dan Kak Ihsan tiba di sebuah rumah makan yang cukup ramai. Dia memintaku untuk menunggunya sebentar. Beberapa menit kemudian, lelaki itu keluar dengan dua kantong kresek besar di tangannya. Dengan refleks kakiku berjalan mendekatinya dan membantu membawa kantong itu. Dia mengucapkan terimakasih. Aku mengangguk pelan.

"Saya makannya enggak di sini. Kamu tidak lagi sibuk, kan? Saya mau ke suatu tempat dulu."

Aku mengiyakan permintaannya. Beberapa menit berlalu, motor yang kami tumpangi memasuki sebuah gang kecil. Tidak lama, kami berhenti di sebuah bangunan. Kak Ihsan memintaku membawakan kantong kresek yang tadi dibawanya dari warung makan. Saat aku hendak memasuki tempat itu, kulihat beberapa anak kecil berhamburan ke luar dan meneriakkan nama Kah Ihsan. Mereka memeluk laki-laki itu dengan erat. Dalam hatiku masih bertanya, sebenarnya ini tempat apa.

Kak Ihsan menyuruhku masuk. Awal menjejakkan kaki, sebuah papan tulis berukuran 120x240cm yang dipenuhi dengan coretan, berhasil mencuri perhatianku. Lalu kulihat sekeliling, setiap sudut terdapat lemari yang dipenuhi dengan berbagai macam buku. Dinding tembok menambah keindahan ruangan itu dengan beraneka macam gambar berwarna. Aku baru sadar, semua mata anak-anak menyorotku dengan nada penasaran. Dengan segera, Kak Ihsan memperkenalkanku kepada mereka. Anak-anak itu tersenyum dan memberi salam kepadaku.

"Kak Alya cantik." Kata salah satu dari mereka. Aku tertunduk malu dan memberi ucapan terimakasih untuk pujian yang diberikan. Kak Ihsan mulai mengondisikan anak-anak untuk duduk dan tenang. Lalu dia membuka kantong kresek yang tadi kami bawa. Ternyata isinya makanan. Semua dia bagikan satu demi satu. Dia juga mengajakku untuk makan bersama. Aku tak bisa menolak.

Di tengah-tengan kegiatan makan, aku melihat laki-laki itu bercanda dengan mereka. Sungguh sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba yang selama ini kujaga untuk tidak memandang mata laki-laki, kali ini bola mataku berani memandang dia. Perasaan aneh menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya sangat teduh sekali. Dia balik menatapku. Aku kaget dan dia tersenyum karena mendapati aku telah memperhatikannya.

Selama sembilan belas tahun aku hidup, tadi adalah perasaan pertama yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Apakah ini yang disebut dengan rasa cinta terhadap lawan jenis? Tapi aku hanya ingin mencintai suamiku saja kelak. Aku harap ini hanya sebatas perasaan kagum karena kebaikannya terhadap orang lain. Selesai makan, aku mencuci tanganku. Lalu beberapa kali beristighfar dan mengingatkan diri sendiri bahwa kedatanganku kesini untuk memperbaiki tulisan yang pagi tadi dicoret-coret Kak Ihsan.

Aku kembali ke ruangan tadi. Ternyata Kak Ihsan sedang belajar bersama mereka. Lelaki itu memanggilku dan memintaku untuk membantunya mengajari anak-anak menulis, berhitung dan membaca.

Dua jam berlalu. Anak-anak itu sebagian sudah pergi. Hanya tinggal beberapa yang masih sibuk membaca atau bermain puzzle dan lainnya. Kak Ihsan mendekatiku dan meminta maaf karena telah mengajakku ke tempat itu. Aku sama sekali tak keberatan. Dia bercerita bahwa tempat ini didirikan enam bulan yang lalu. Dan anak-anak tadi adalah anak asuhnya yang Kak Ihsan bawa dari jalanan. Katanya tidak mudah untuk mengumpulkan mereka. Bahkan lelaki itu harus berurusan dengan preman demi menyelamatkan anak-anak dari ketertindasan.

Aku semakin kagum dengan sosoknya. Mempunyai 'anak asuh' adalah salah satu cita-citaku dari dulu yang belum bisa tercapai. Andai saja lelaki yang dihadapanku ini adalah seseorang yang dikirim Allah untuk menjadi imamku kelak.

"Alya. Kenapa?"

Aku terbangun dari lamunan. Semoga Kak Ihsan tidak tahu apa yang kupikirkan tadi. Kulihat jam sudah pukul setengah empat sore.

"Lagi gak sholat?" tanyanya. Aku mengangguk. Kak Ihsan permisi kepadaku untuk menunaikan kewajiban dulu sebelum membahas persoalan di kelas tadi. Sepuluh menit kemudian, dia sudah tiba di hadapanku lagi. Kali ini aku langsung bertanya tentang karyaku yang habis dicoretnya.

"Tidak ada yang salah," ungkapnya.

Pernyataan yang keluar dari mulutnya membuatku tidak mengerti. Ditambah pesonanya yang membuat jantungku berdetak kencang, membuatku harus beristighfar setiap kali mata kami berjumpa.

Beberapa baris puisi dari Ibnu Hazm, terngiang di kepalaku.

Selain keindahanmu, tiada persinggahan

Bagi mata yang menatapmu tiada hentinya

Beberapa detik aku terdiam.

"Lalu kenapa dicoret-coret, Kak?"

Kak Ihsan mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

"Saya ingin membuat warna di hidupmu kelak."

Aku masih tak mengerti apa yang dia ucapkan.

"Saya ingin menjadi orang pertama yang kamu lihat setelah tidur malam mu yang menyenyakkan."

"Menjadi seseorang yang kamu aminkan doanya saat sepertiga malam memanggil kita."

Dia berbicara dengan serius. Apakah lelaki itu sedang bercanda? Jikapun memang benar-benar, ini terlalu cepat. Ditambah selama dua minggu pelatihan, kami tidak pernah mengobrol sedikitpun seperti teman-temanku yang lain. Namun katanya, tak perlu waktu lama untuk mencintai seseorang. Hati tak pernah bisa diduga kemana ia akan berlabuh. Kita tak perlu berlama-lama untuk menuju jenjang pernikahan, karena sejatinya pernikahan itu ialah perkenalan tanpa akhir. Aku terdiam. Perasaanku campur aduk. Begitu cepat Tuhan mengabulkan harapku.

Hari demi hari kami semakin akrab. Baru kali ini aku merasakan hal yang tak pernah dirasa sebelumnya. Ternyata, cinta dapat mematahkan prinsip. Dia juga tahu tentang perasaanku terhadapnya. Kami saling mencintai. Namun, beberapa kali dia membicarakan pernikahan, aku selalu mencoba menghindar. Saat dia ingin ke rumah untuk menyatakan keseriusannya kepada kedua orang tuaku, aku belum bisa mengabulkan permintaanya. Bukan karena tanpa alasan, masih banyak impianku yang belum dicapai. Semua itu dapat kuraih dengan syarat aku tak boleh menikah dulu. Sepanjang bertemu, aku juga selalu menceritakan tentang impian-impianku padanya. Dan dia selalu bilang, "Mari kita wujudkan impian kita sama-sama". Aku hanya tersenyum. Dia juga tahu bahwa aku sudah mendaftar beasiswa untuk meneruskan pendidikan strata satu. Jadi jika aku diterima, dia harus menungguku untuk menikah dengannya. Apakah mungkin bisa? Bertahun-tahun menunggu?

Satu tahun berlalu. Aku melanjutkan pendidikan karena beasiswaku diterima. Kak Ihsan masih setia menunggu. Hingga suatu saat dia memintaku untuk bertemu. Seperti biasa kami berdiskusi tentang kegiatan masing-masing. Di tengah obrolan, dia menatapku dalam sekali. Lalu meminta maaf berkali-kali.

"Kenapa?"

"Saya mencintai kamu," ucap lelaki itu.

"Saya juga."

"Jika suatu saat Allah tidak menakdirkan kita berjodoh. Saya harap, kita masih saling menjalin silaturahmi meskipun atap kita tak akan sama."

Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang dia katakan. Kulihat matanya berkaca-kaca. Rambut diusapnya berkali-kali. Sekarang, wajahnya telah terbenam di kedua telapak tangannya.

"Lebih baik, kamu jangan mencintai saya lagi."

Aku benar-benar terkejut dengan kata-kata yang terucap dari bibirnya. Kak Ihsan benar-benar membuatku kecewa.

"Kenapa? Apakah saya membuat Kak Ihsan lama menunggu? Saya bisa memutuskan pendidikan saya jika itu yang Kak Ihsan mau. Saya siap menikah sekarang, jika Kak Ihsan meminta."

Air mataku meleleh membasahi pipi. Menetes pada jilbabku yang melambai seakan mengerti bahwa pertemuan kami kali ini adalah tanda perpisahan.

"Kamu tidak bisa seperti itu. Kejarlah sampai dapat apa-apa yang telah kamu impikan selama ini. Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa ada hal yang lebih penting dibanding dengan cinta yang tak akan lama bersama."

Aku hanya bisa menangis. Tak ada lagi kata yang dapat kulisankan kecuali air mata sebagai rasa kecewa.

Aku membasuh buliran yang telah membentuk aliran sungai. Dengan sekuat tenaga, bibir ini mengatakan sesuatu yang membuat hatiku patah.

"Semoga perempuan pilihan kamu adalah ia yang kelak membersamaimu sampai akhir nafasmu. Dan rasa cintanya melebihi rasa cinta saya kepada kamu."

Dia hanya diam. Lalu tersenyum. Sungguh, ini sangat menyakitkan.

"Jika aku tak dapat mencintaimu layaknya seorang perempuan terhadap laki-laki. Maka, izinkan aku mencintaimu sebagai sesama Muslim karena Allah. Assalamu'alaikum."

Aku membalikkan badan. Lalu berjalan meninggalkan dia yang tak berkata lagi. Air mata yang sudah kubasuh, membludak. Memang benar, berharap kepada manusia selalu meninggalkan rasa kecewa. Cinta semacam ini adalah api. Dan aku telah lebur olehnya.

Sampai saat ini, setelah perpisahan itu kami tak pernah lagi menjalin komunikasi. Semua tentangnya hilang. Tak ada jejak yang ia tinggalkan selain perasaan indah yang berujung menyakitkan. Namun, karenanya aku belajar ikhlas. Aku belajar merelakan sesuatu yang memang tidak pernah terduga sebelumnya. Dan mulai sekarang, aku sudah siap untuk kehilangan siapapun yang telah Allah titipkan.

sumber gambar: google.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun