Mohon tunggu...
Nur Rohmatus
Nur Rohmatus Mohon Tunggu... Sekretaris - Mahasiswi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswi Universitas di Malang Pendidikan Islam Anak Usia Dini '17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah-Ibu, Izinkan Dia yang Sederhana Ini Meminangku

24 Maret 2019   02:57 Diperbarui: 24 Maret 2019   03:08 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah-Ibu...

Maaf, semoga aku tidak lancang menulis surat ini. Aku tak pernah berani mengutarakan isi hati ini secara lisan, karena selama ini kita lebih senang berkompromi dan berbicara hal hal yang tak terlalu dalam, pun juga yang tak terlalu menguras perasaan.

Namun sudah saatnya aku angkat bicara kembali. Mungkin kalian telah menebak tentang apa. Bagaimana lagi ? Separuh hari hariku selama ini kuhabiskan bersamanya. Tidak membicarakannya sama saja dengan menganggap separuh hidupku tak pernah ada.

Ayah-Ibu...

Dia memang terlalu sederhana untuk bisa dibilang sempurna. Namun apakah kesederhanaannya layak jadi alasan untuk menganggapnya tak pernah ada ? Aku mengerti pentingnya masa depanku untuk kalian. Aku pun tak lupa, tetesan keringat kalian adalah upaya untuk membuatku bahagia.

Aku tahu sejak dulu, dia dan kita memang berbeda. Namun, Ayah dan Ibu tak pernah mengajarkanku untuk menghargai orang hanya dari satu sudut pandang. Aku memang belum terlalu mengenal dia, tapi setiap gerak geriknya perlahan mengambil perhatianku. Sejak awal aku selalu yakin bahwa Ayah dan Ibu akan menerima kehadirannya, namun semua berbanding terbalik. Semua yang kuyakini ternyata hanyalah angan, tetapi kebaikan dan ketulusannyalah yang selalu meyakinkanku untuk berjalan beriringan dengannya.

Pria yang bersamaku saat ini mungkin latar belakang kehidupannya jauh berbeda dari kita. Aku justru merasa terhormat bahwa ia mau bersamaku. Dengannya, hidup adalah urusan yang harus diperjuangkan. Memutuskan menghabiskan hidup dengannya sama dengan menggulung lengan bajuku dan siap berusaha. Tak mungkin aku mengemis kenyamanan pada Ayah dan Ibu lagi, seperti yang dengan mudah kudapat saat tinggal bersama kalian. Untuk hidup dengan nyaman, kami berdua harus berjuang.

Ayah dan Ibu mendidikku untuk cerdas dalam berpikir. Ibu tentu paham bahwa aku bukan perempuan bodoh yang mudah dibuat lupa daratan karena perasaan. Melihat kegigihanku meraih cita-cita, tekadku untuk menyelesaikan sekolah dan segera menyelesaikan skripsi, apakah Ayah dan Ibu masih mengecapku sebagai anak perempuan yang menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan cinta?

Sebelum menuliskan surat ini, aku telah menimbangnya berkali-kali. Melihat dan mengenal sosoknya membuat akal sehatku berkata dialah orangnya. Dia memang dari keluarga sederhana yang biasa saja. Sifatnya yang beridealisme kuat dan pekerja keras membuatku terpacu untuk tidak hanya sekedar berpangku tangan. Bersamanya aku tahu apa yang aku inginkan, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Kalian mendidikku untuk mandiri. Takkan pernah aku lepas tangan dan membiarkan pasanganku berjuang sendiri untuk kami. Selain pendidikan dan kemampuan, kalian mendidikku untuk tak pernah berserah pada orang lain. Saat ini, aku tumbuh menjadi perempuan mandiri, meskipun suatu saat pria ini akan menjadi tulang punggung keluarga, namun aku tak akan sepenuhnya bergantung pada dia. Aku tak akan membiarkan ilmu yang kumiliki berhenti hanya karena telah berstatus istri.

Jika ada pria yang paling mencintaiku, sudah pasti Ayahlah orangnya. Mungkin jika kita harus membandingkan, cintanya padaku tak sebesar cinta Ayah. Apa yang telah ia korbankan tak akan pernah menyamai pengorbanan Ayah. Tapi soal masa depan, jangan ragukan tekadnya untuk berjuang. Suatu saat dia juga akan menjadi seorang ayah, dan sama seperti yang Ayah lakukan, dia juga berjuang demi kebahagian anak-anak kami.

Aku tak memaksakan diri untuk bisa bersamanya. Namun bila kami memang ditakdirkan untuk bersatu, kumohon terimalah dia dengan tulus sebagai pria yang akan berjalan seiring dengan langkahku.

Dariku,

Yang selalu kalian banggakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun