Tiba-tiba saja datang sekawanan laki-laki yang bertubuh besar dan bermuka garang. Aku tidak tahu ada perlu apa mereka mendatangi rumah ini. Berpakaian serba hitam yang sedikit menakutkan, ditambah lagi banyak luka codet di muka nya. Sebilah belati terlihat terselip di saku celana kanan salah satu dari mereka, mungkin dia adalah pemimpin dari sekawanan laki-laki itu.
“ Apa yang kalian lakukan disini?” ucap Bapak Ratih
“ Apa kau bilang? Kau masih bertanya alasan kami kemari, jangan pura-pura tidak tahu”
Disudut lain aku melihat Ratih bersembunyi di pojok dekat lemari, karena takutnya melihat laki-laki itu. Kemudian ibunya segera medekatinya.
“ Gek Ratih masuk ke dalam kamar, cepat masuk sayang, cepat” kata ibunya dengan nafas yang sudah tidak teratur karena khawatirnya.
“ Baik ibu, tapi ibu temani Ratih ya?”
“ Iya sayang, tapi kamu masuk dulu, cepat Gek. Jangan lupa kunci pintu kamar” suruh sang ibu
“ Baik bu” turutnya.
Aku melihat segala kejadiannya dimana keluarga Ratih dibantai oleh orang- orang yang tidak mempunyai hati itu, aku berada di sana merasa begitu sakit. Aku hanya mematung tak mampu untuk melakukan apa-apa. Dari dalam rumah terdengar suara gelas pecah, beling bertebaran dimana-mana. Tidak tahan akan tingkah semena-mena yang di lakukan oleh sekawanan laki-laki itu membuatku geram namun tetap tidak bisa berbuat apa.
Ku teriakkan berulang kali kepada si pembantai agar berhenti melakukan tingkah anarkisnya itu, namun seolah semu, segala yang aku teriakan tidak terngiang di telinga mereka. Aku tidak mengerti kenapa bisa mereka tidak menghiraukanku padahal sekarang aku jelas-jelas ada di hadapannya. Tingkahnya semakin menjadi, semua barang di lempar hingga membuat kacau seisi rumah.
“ Cukup, cukup. Sudahi semua ini, apa yang kau lakukan” teriakku dengan suara parau.