ketika itu aku begitu kecewa karena hanya menggantungkan harapan pada satu seleksi SNMPTN. Mengingat aku dari SMK yang hanya fokus mempelajari mapel kejuruan, jelas aku tidak ingin sama sekali mempelajari materi anak SMA yang menurutku berat untuk dipelajari. Terlebih waktu itu tugas sekolah sangat padat mulai dari ujian agama, praktik, dan teori.Â
Alhasil dari ekspektasi yang begitu tinggi tanpa mau usaha lebih, aku merasa begitu kecewa ketika dinyatakan tidak lolos di SNMPTN. Orang tuaku sudah bilang jika aku gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri aku harus bekerja namun aku sendiri belum siap untuk hal itu.
Selama seminggu aku murung di kamar, badan tambah kurus, mata cekung, bibir pecah-pecah, diriku tampak suram seperti orang yang tidak lagi punya mimpi.Â
Aku dibangkitkan oleh satu temanku, dia membujukku agar ikut SBMPTN, segala cara ia merayuku hingga akupun kembali memiliki bara semangat lagi.Â
Orang tuaku tidak memiliki biaya untuk memasukkanku ke sebuah bimbel. Dengan modal memecah uang celengan, aku membeli sebuah buku SBMPTN. Setiap hari kubuka setiap lembarnya, perasaan bosan kadang menerpa tapi aku berusaha menghilangkannya.
Karena aku anak SMK yang tidak begitu banyak mendapat materi anak SMA seringkali aku kesulitan memahami materi. Hingga aku pun berinisiatif untuk bergabung di berbagai grup pejuang PTN (Perguruan Tinggi Negeri) di media sosial untuk menanyakan beberapa hal atau materi yang tidak aku pahami. Perlahan aku semakin paham tentang isi buku yang ku pelajari itu.
Singkat cerita, hingga akhirnya aku mengikuti tes SBMPTN, saat soal selesai kukerjakan aku merasa tidak maksimal dalam mengerjakannya. Semua hanya kupasrahkan kepada Allah saja.
Pada saat pengumuman SBMPTN akhirnya aku lolos, sungguh gembira tak terkira, terima kasih bukuku, terima kasih teman di grup media sosial, terima kasih kawanku yang merayuku, terima kasih untuk bapak, ibu dan Allah, tanpa kalian aku akan kembali menjadi orang tanpa mimpi. Aku belajar dari peristiwa tersebut, bahwa kegagalan tidak boleh menghentikan langkah kita. Banyak jalan menuju roma.Â