Noviana Kusuma, No. 24
Baru saja aku membuka mata, kau langsung berkata :
“Mimpi itu ibarat kita memandang langit malam dimana bintang banyak bertaburan menghiasinya. Bintang-bintang bagai tebaran kristal mempesona langit malam yang kelam. Hingga mata ini seolah enggan berkedip mengagumi cantiknya. Tapi kau tahu? Sesungguhnya bintang yang paling berkilau itu adalah yang letaknya paling jauh dari bumi.”
Aku hanya diam sembari menatap wajah lelaki bermata sayu yang sudah satu tahun ini menemaniku. Namanya Rio. Dan aku adalah wanita paling beruntung karena bisa memilikinya. Bagiku dia bagai malaikat yang datang membawa setetes air saat aku sekarat. Dia bagai api lilin saat aku disakiti kegelapan. Dan ia adalah kesederhanaan yang membuatku bertahan.
Rio tersenyum memamerkan lesung pipinya. Aku tahu sebenarnya dia terbebani dengan sikap keputusasaanku menghadapi kerasnya kehidupan. Lantaran tangan yang dulu lihai membentuk garis-garis halus menjadi sebuah karya sekarang hilang untuk selamanya akibat kecelakaan sial itu. Tapi sekali lagi, aku beruntung punya Rio.
“Sekarang, bermimpilah dari hal yang paling sederhana. Meski kau sendiri tahu menggapai impian tak sesederhana saat kita bermimpi. Tapi kau pernah berkata padaku, jika Tuhan sudah menutup semua pintu. Masih ada jendela yang terbuka jika kita mau mencarinya.”
Dan aku tersenyum menutup kalimatnya.
* Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community http://www.kompasiana.com/androgini/fapi-inilah-perhelatan-dan-hasil-karya-peserta-event-fiksi-aku-punya-impian-di-kompasiana_5599e151e422bda106b73769
