Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Gerobak, Sisi Kelam Sebuah Kota

28 Juli 2021   14:45 Diperbarui: 28 Juli 2021   14:47 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Manusia gerobak tertidur pulas di Jalan Margonda Raya Depok. (Foto: Norman Meoko)

Panas terik dan debu jalanan serta bau tempat sampah tak jadi soal. Karena di situ ada rezeki yang bisa ditukar dengan rupiah demi rupiah. Membawa pulang hasil jerih dari setiap tetesan keringat yang berjatuhan dan sebagian mengering di badan karena terhisap kaos bolong-bolong.

Tidak hina menjadi pemulung yang dikemas sebagai manusia gerobak. Lebih berharga di atas kesederhanaan. Emas dilihat hati yang paling dalam; tersembunyi antara jiwa dan raga.

Fenomena Sebuah Kota 

Manusia gerobak adalah fenomena sebuah kota. Biasanya manusia gerobak identik dengan keluarga yang berkeliling menarik gerobak di jalanan. Gerobak menjadi tempat tinggal. Biasanya, fenomena manusia gerobak muncul mendekati Ramadhan. Seperti yang terlihat di Kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan saban malam.

Pesatnya perkembangan Kota Depok menjadi daya tarik bagi manusia gerobak. Ini fenomena di hampir seluruh kota besar di Indonesia termasuk di Jakarta.

Manusia gerobak mencari barang-barang yang tidak terpakai lagi. Mulai dari kertas bekas, botol plastik, atau aluminium. Kalau sudah dirasa banyak, barang-barang itu bakal ditebus ke pengepul.

Saya pernah bertemu manusia gerobak di dekat Stasiun Sudirman Jakarta. Namanya, Pak Sholeh. Sehari-hari, pria tua rentah dengan berewok beruban tersebut mencari botol sisa air mineral. Dia juga mencari kardus bekas atau kertas-kertas bekas lingkungan kantor sekitar Jalan Sudirman Jakarta. Sholeh mengais-gais tempat sampah agar dapur tetap ngebul.

"Ya saya cari barang bekas yang bisa jadi duit deh," tuturnya sambil terus mendorong gerobaknya. Soal uang yang diperoleh, Sholeh ogah buka mulut. Ia hanya bilang: cukup untuk makan dan minum saja. Ditanya lebih jauh, pria berkulit hitam legam itu nelongso pergi.

Diakui atau tidak fenomena munculnya manusia gerobak akibat tidak meratanya pembangunan di daerah. Selain juga karena mental budaya tidak mau bekerja keras. Ditambah kebiasaan orang kaya di Indonesia yang gemar memberi sedekah kepada kaum dhuafa. Walhasil penghasilan manusia gerobak bisa lebih besar dari upah minimum regional di Jakarta lho. Juga di Depok. Sekadar contoh saja!

Seperti halnya Jakarta dan kota-kota besar lainnya maka Depok juga telah dianggap sebagai kota yang mudah untuk mencari duit oleh sebagian orang dari kampung. Mereka yang polos dari desa menjadi negatif karena ikut-ikutan saudara atau temannya yang merasakan lebih dulu. Jadi, kebiasaan negatif dilakukan terus karena uangnya banyak. Ya lagi-lagi ujungnya: duit juga!

Namun, lepas dari itu keberadaan manusia gerobak setidaknya menggambarkan adanya ketimpangan dalam sistem kota di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta juga Depok. Kemunculan manusia gerobak merupakan sebuah fenomena sosial budaya di lingkungan perkotaan yang juga merupakan variasi baru bagi kemiskinan di perkotaan yang disebabkan ketimpangan kota pusat dan kota penyangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun