Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Gerobak, Sisi Kelam Sebuah Kota

28 Juli 2021   14:45 Diperbarui: 28 Juli 2021   14:47 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Manusia gerobak tertidur pulas di Jalan Margonda Raya Depok. (Foto: Norman Meoko)

Jalan Margonda Raya adalah jantung kota Depok. Siapa yang tidak kenal nama jalan yang satu ini. Begitu juga dengan kotanya: Depok! Kota yang tiba-tiba terkenal ketika banyak kampus hengkang dari Ibu Kota ke daerah perbatasan dengan di selatan Jakarta ini. Sekitar tahun 1988, sebagian besar kampus di Jakarta per lahan tetapi pasti mulai hijrah ke sana.

Depok lantas berkembang pesat. Seperti gadis remaja yang bersolek dengan warna-warni gincu. Mal dan apartemen berlomba terutama di Jalan Mardonda Raya. Tidak salah memang setiap APBD Kota Depok kabarnya selalu saja ada anggaran untuk mempercantik kawasan jempolan tersebut.

Tak cuma mal dan apartemen tetapi pelbagai kuliner pun tumpah ruah di sana. Mau Korean Food hingga Japanese Food tersaji. Belum lagi sajian angkringan pun ada. Singkat kata: miniatur makanan siap saji kaum milenial lengkap di Jalan Margonda Raya Kota Depok.

Apa nggak asik? Apalagi saat pandemi Covid-19 belum muncul. Ramai dah! Ibarat perempuan cantik yang menarik-nari di malam hari. Begitulah Jalan Margonda Raya. Jantung Kota Depok.

Panjang Jalan Margonda Raya sekitar 6,5 kilometer dengan lebar masing-masing 3,5 meter dan terbagi menjadi dua jalur. Ada 11 dari 22 trayek angkutan kota yang melalui jalan utama di Kota Depok tersebut.  Dinas Perhubungan Kota Depok mencatat sekitar 2.000 angkot melawati Jalan Margonda Raya setiap hari.  

Siapa nyana di tengah gemerlapnya Jalan Margonda Raya terselip kaum papah yang setiap harus menapaki hidup sebagai manusia gerobak. Seperti yang saya temui pada suatu malam. Seorang pria tua manusia gerobak tertidur pulas di sisi Jalan Margonda Raya.    

Ya, tidak semua orang bisa memejamkan mata; terlelap dalam mimpi tidak bertepi.  Tidak semua orang dapat menari-nari di peraduan. Bersandiwara dalam wujud tanpa raga.

Tapi pria tua manusia gerobak ini terbuai dalam mimpi yang tak berujung. Suara klakson dan deru arus lalu lintas di Jalan Margonda Raya Depok tidak berkuasa merampas mimpinya. Dia pulas bukan main.  

Untuk sesaat lelah seharian memulung terhapus dalam tidur. Rasa lapar lenyap. Haus tenggelam. Yang ada hanya tidur dan mimpi seakan melihat surga seperti tidak berjarak.

Lelaki tua pemulung yang hidup sebagai manusia gerobak ini adalah pahlawan bagi keluarganya. Ia menampik menjadi garong apalagi koruptor yang berjas mentereng tetapi hatinya penuh dengan sumpah-serapah orang.

Panas terik dan debu jalanan serta bau tempat sampah tak jadi soal. Karena di situ ada rezeki yang bisa ditukar dengan rupiah demi rupiah. Membawa pulang hasil jerih dari setiap tetesan keringat yang berjatuhan dan sebagian mengering di badan karena terhisap kaos bolong-bolong.

Tidak hina menjadi pemulung yang dikemas sebagai manusia gerobak. Lebih berharga di atas kesederhanaan. Emas dilihat hati yang paling dalam; tersembunyi antara jiwa dan raga.

Fenomena Sebuah Kota 

Manusia gerobak adalah fenomena sebuah kota. Biasanya manusia gerobak identik dengan keluarga yang berkeliling menarik gerobak di jalanan. Gerobak menjadi tempat tinggal. Biasanya, fenomena manusia gerobak muncul mendekati Ramadhan. Seperti yang terlihat di Kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan saban malam.

Pesatnya perkembangan Kota Depok menjadi daya tarik bagi manusia gerobak. Ini fenomena di hampir seluruh kota besar di Indonesia termasuk di Jakarta.

Manusia gerobak mencari barang-barang yang tidak terpakai lagi. Mulai dari kertas bekas, botol plastik, atau aluminium. Kalau sudah dirasa banyak, barang-barang itu bakal ditebus ke pengepul.

Saya pernah bertemu manusia gerobak di dekat Stasiun Sudirman Jakarta. Namanya, Pak Sholeh. Sehari-hari, pria tua rentah dengan berewok beruban tersebut mencari botol sisa air mineral. Dia juga mencari kardus bekas atau kertas-kertas bekas lingkungan kantor sekitar Jalan Sudirman Jakarta. Sholeh mengais-gais tempat sampah agar dapur tetap ngebul.

"Ya saya cari barang bekas yang bisa jadi duit deh," tuturnya sambil terus mendorong gerobaknya. Soal uang yang diperoleh, Sholeh ogah buka mulut. Ia hanya bilang: cukup untuk makan dan minum saja. Ditanya lebih jauh, pria berkulit hitam legam itu nelongso pergi.

Diakui atau tidak fenomena munculnya manusia gerobak akibat tidak meratanya pembangunan di daerah. Selain juga karena mental budaya tidak mau bekerja keras. Ditambah kebiasaan orang kaya di Indonesia yang gemar memberi sedekah kepada kaum dhuafa. Walhasil penghasilan manusia gerobak bisa lebih besar dari upah minimum regional di Jakarta lho. Juga di Depok. Sekadar contoh saja!

Seperti halnya Jakarta dan kota-kota besar lainnya maka Depok juga telah dianggap sebagai kota yang mudah untuk mencari duit oleh sebagian orang dari kampung. Mereka yang polos dari desa menjadi negatif karena ikut-ikutan saudara atau temannya yang merasakan lebih dulu. Jadi, kebiasaan negatif dilakukan terus karena uangnya banyak. Ya lagi-lagi ujungnya: duit juga!

Namun, lepas dari itu keberadaan manusia gerobak setidaknya menggambarkan adanya ketimpangan dalam sistem kota di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta juga Depok. Kemunculan manusia gerobak merupakan sebuah fenomena sosial budaya di lingkungan perkotaan yang juga merupakan variasi baru bagi kemiskinan di perkotaan yang disebabkan ketimpangan kota pusat dan kota penyangga.

Perubahan status metropolitan menjadi megapolitan adalah kebijakan yang baru tetapi jelas semakin membuat relasi antarkota menjadi timpang. Akhirnya, arus urbanisasi terus mengalir dari daerah. Daerah di luar penyangga itu belakangan ikut menyumbang laju urbanisasi. Boleh jadi manusia gerobak adalah pola urbanisasi tingkat lanjut.

Kembali ke manusia gerobak yang tertidur pulas di Jalan Margonda Raya Depok. Tidurlah pak. Bermimpilah. Tangan-tangan tak berwajah akan menyambutmu dengan berkah yang berlimpah.

Tidurlah pak. Hari masih panjang dan lalu-lalang kendaraan terus saling mengejar tiada henti. Debu jalanan pun menari-nari dengan dendang sesukanya.

Mimpi telah membawamu dalam kenikmatan dan yakinlah selepas itu ada kebahagiaan meski kecil tapi berharga.

Lanjutlah tidurmu pak karena roda kehidupan akan terus berputar. Entah sampai kapan; seperti tak berujung apalagi di tengah pandemi seperti sekarang ini.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun