Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepenggal Cerita Sang Badut di Tengah Pandemi

24 Juli 2021   13:41 Diperbarui: 24 Juli 2021   13:52 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya (kanan) dan Pak Nuri, badut di sekitar Grand Depok City. (foto: Norman Meoko)/dokpri

Namanya singkat. Nuri. Begitu dia biasa dipanggil sesama badut di seputaran Grand Depok City (GDC). Kami biasa ngobrol di pangkalan ojek persis di perempatan jalan menuju kompleks Anggrek 1 di GDC.

Kebetulan pangkalan ojek konvensional dekat warung soto Cak Kris. Sehabis sarapan pagi di warung soto itu saya sengaja ngobrol dengan sahabat-sahabat saya. Ya si Kris tukang soto lalu ada Agus yang punya gerobak mi ayam. Biasanya ada gerobak yang menjajakan batagor.

Banyak hal yang kami obrolkan. Namun begitu Pak Nuri datang di pangkalan ojek, saya pun menghampirinya dan kami ngobrol banyak hal. Pria berusia 48 tahun itu suka bercerita masa lalunya. Dan saya pun menyimak setiap lembaran perjalanan sang badut dewasa ini. Ya Pak Nuri menjalani hidup sebagai badut dewasa. Ia mengambil rupa badut buaya.

"Perjalanan hidup saya naik turun Mas, " katanya membuka obrolan pagi ini ketika sang surya mulai menyembul di ufuk Timur.

Sebelum menjadi badut, Pak Nuri yang asli Mangga Besar Jakarta Barat ini pernah mengaku bekerja di sebuah perusahaan otomotif raksasa di bilangan Sunter Jakarta Utara. Ia menjadi tenaga mekanik yang merakit mobil.

"Waktu itu jalan hidup saya bagus Mas. Bahkan saya menikah dari bekerja di sana, " ujarnya.

Ya lama dia bekerja di sana. Namun semuanya berakhir ketika perahu rumah tangganya pecah. Sang istri yang dicintainya pergi bersama lelaki lain. Tiga anaknya pun ditinggal begitu saja.

Pak Nuri terguncang. Hidupnya berantakan. Ibarat piring yang dibanting: hancur berkeping-keping! Ia menangis panjang. Air mata mengalir saban melihat ketiga anaknya yang masih kecil-kecil tengah tertidur pulang dijemput sang malam.

Hidup harus berlanjut. Tak baik terus berkubang dalam kesedihan tak berujung. Ia pun lalu manata hidupnya. Dia pontang-panting bekerja serabutan demi ketiga buah hatinya. Tempat bekerjanya di Sunter ditinggalkan.

Sampai akhirnya Pak Nuri memutuskan untuk hijrah ke Depok. Mengontrak sebuah rumah untuk membesarkan anak-anaknya. Tuhan baik teramat baik. Pelan-pelan tapi pasti Pak Nuri melupakan kesedihan masa lalunya. Tekadnya membesarkan anak-anaknya menjadi semangat yang terus membakar hidupnya.

Beruntung kini anak-anaknya sudah besar. Ia sudah bisa menebar senyum meski hanya menjadi sang badut buaya.

"Baju badut buaya ini dikasih orang juga. Ada tetangga yang prihatin dengan hidup saya dan kemudian membelikan baju badut yang baru. Tuhan itu  baik, " katanya.

Pak Nuri mengamini bahwa dalam setiap langkahnya Tuhan selalu menyelipkan orang-orang baik yang berbagi dan terus berbagi.

"Ketika saya lapar. Ada orang yang memberi nasi kuning buat saya. Saat saya haus. Ada yang memberi air mineral. Ada juga yang menyelipkan rupiah demi rupiah di balik plastik kresek saya, " ia menambahkan.

Obrolan kami akhirnya berujung. Hari sudah semakin tinggi. Saya pun bergegas ke Kota Hujan Bogor. Sedangkan Pak Nuri kembali menelusuri jejak-jejak untuk mengais rupiah demi rupiah untuk sebuah kehidupan.

Kami sempat berfoto. Kami akhirnya memang berpisah untuk esok bersua kembali. Semangat Pak Nuri. Tuhan itu baik.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun