Oleh: Norbertus Sereming
Di tengah lebatnya hutan di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, terdapat sebuah dusun bernama Tepuk. Dari sinilah kisah ini bermula. Tepatnya di wilayah Mongan Tepuk Sakuddei, tempat sebagian besar masyarakat adat Mentawai hidup dalam kesederhanaan, berdampingan dengan alam, serta memegang teguh nilai-nilai leluhur.
Namun, di balik kedamaian yang tampak dari luar, tersimpan cerita tentang perjuangan yang senyap: hingga tahun 2025 ini, air bersih dan listrik belum sepenuhnya hadir di Mongan Tepuk. Bukan karena masyarakat menolak pembangunan, tetapi karena akses dan perhatian yang belum sepenuhnya sampai.
Mengalir dari Bambu, Bukan dari Pipa
Air merupakan kebutuhan dasar manusia. Di kota, kita tinggal membuka kran, air bersih langsung mengalir. Tapi di Mongan Tepuk, air didapat dari mata air alami di tengah hutan yang dialirkan melalui bambu panjang. Warga membangun sendiri salurannya dari kayu dan bambu yang dipasang dengan gotong royong.
Air dari mata air dialirkan melalui bambu sederhana ke pemukiman warga. Inilah satu-satunya sumber air bersih sejak Mongan Tepuk berdiri.
Air dari mata air ini digunakan untuk minum, mandi, mencuci, dan memasak. Namun saat musim kemarau tiba, debit air menurun dan air menjadi keruh. Tidak ada tandon, tidak ada sistem filter, dan belum ada program seperti PAMSIMAS yang menjangkau wilayah ini.
Masyarakat tidak tinggal diam. Mereka terus merawat saluran bambu itu setiap minggu. Tapi tetap saja, ini hanyalah solusi darurat yang rapuh. Sebuah gangguan kecil di hulu bisa membuat satu dusun kehilangan air.
Malam Tanpa Cahaya
Selain air, listrik juga belum sepenuhnya hadir. Hanya beberapa rumah yang menggunakan panel surya kecil bantuan lama. Itu pun tidak cukup untuk kebutuhan rumah tangga, dan kerap rusak tanpa teknisi yang bisa memperbaiki.
Ketika malam tiba, rumah-rumah di Mongan Tepuk berada dalam gelap. Anak-anak belajar di bawah cahaya lilin atau pelita. Telepon genggam hanya bisa diisi dayanya saat dibawa ke desa tetangga yang memiliki listrik. Kegiatan produktif pun terhenti begitu matahari terbenam.
"Kami terbiasa hidup sederhana, tapi kami tahu anak-anak kami butuh lebih dari ini. Mereka perlu air bersih dan cahaya untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi," ujar salah seorang tokoh adat setempat.
Kami Tidak Menuntut, Hanya Menyampaikan
Masyarakat Tepuk tidak menuntut lebih. Mereka tidak menyalahkan siapa pun. Mereka hanya ingin didengar dan dilihat. Bahwa ada warga negara Indonesia yang hingga kini belum menikmati hak dasar: air bersih dan listrik.
Kami percaya pemerintah telah berupaya membangun Indonesia dari pinggiran. Namun, mungkin saja masih ada titik-titik kecil yang luput dari perhatian. Mongan Tepuk mungkin salah satunya.
Harapan dari Pinggiran Hutan
Kami di sini hidup menjaga alam. Kami tidak menebang hutan sembarangan. Kami merawat mata air agar tetap mengalir untuk anak cucu. Tapi kami juga berharap negara hadir menjaga kami.
"Kalau ada air bersih yang layak dan listrik yang stabil, anak-anak kami bisa sekolah lebih baik. Ibu-ibu bisa masak dengan aman. Malam tidak lagi gelap. Semua itu sangat berarti bagi kami," kata Norbertus Sereming, pemuda Tepuk yang kini menempuh pendidikan di Universitas PGRI Sumatera Barat.
Mari Lihat ke Tepuk
Cerita ini bukan tentang menyalahkan. Ini tentang menyuarakan. Bahwa di balik hutan lebat Mentawai, ada masyarakat yang masih menimba air dari bambu dan menyalakan lilin di malam hari, bukan karena mereka tidak ingin maju, tapi karena infrastruktur belum sampai.
Kami berharap artikel ini dapat menjadi jembatan perhatian. Antara pusat dan pinggiran. Antara kota dan pedalaman. Karena Indonesia bukan hanya Jakarta, Medan, atau Padang---tapi juga Tepuk, di jantung Mentawai.
Tentang Penulis:
Norbertus Sereming adalah pemuda asli Dusun Tepuk, Mentawai. Saat ini sedang menjalani studi di Universitas PGRI Sumatera Barat dan aktif menyuarakan kondisi kampung halamannya melalui tulisan dan diskusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI