Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tahun 2023, Resolusi 'Tambang Hijau' untuk Keberlanjutan Indonesia Lebih Baik

2 Januari 2023   09:43 Diperbarui: 2 Januari 2023   09:54 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gender equality) dan SDGs 6 (clean water and sanitation). Dokpri

Tahun baru, sebuah moment yang selalu ditunggu. Pergantian tahun yang ditandai dengan acara kumpul keluarga, kerabat dan teman sejawat dengan berbagai sajian hidangan hangat. Barbeque, merupakan salah satu menu yang wajib tersedia sambil mengisi obrolan santai. Dari lagunya Marshmello sampai dengan lagu ter-hits yang viral di seluruh jagad seantero. Tak ketinggalan, tentu foto bareng teman dengan senyum termanis selalu menjadi akhir dari setiap moment kebersamaan. Sama seperti tahun sebelumnya sedari sore, berbagai bentuk ekspresi senyum manis menghiasi layar Whats App dengan berbagai persiapan penyambutan tahun baru yang segera datang.

'Jadi, apa resolusi kamu?' begitu kata seorang teman. Resolusi mungkin bagi sebagian orang adalah hal terpenting sebagai sebuah capaian dari langkah kita. Resolusi juga merupakan sebuah keputusan besar yang dapat diambil sebagai bentuk pembaruan menyongsong tahun yang akan datang.  Bisa juga sebagai bentuk proses perbaikan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tentu saja bukan hal yang mudah, apalagi jika kita mengingat sebagai diri yang selalu memiliki keterkaitan erat dengan ekosistem biotik yang ada di dunia. Tentu saja kawan, bumi kita hanya satu, dan bertambah tahun akan bertambah populasi, bertambah juga untuk memenuhi kebutuhan di kita sebagai manusia yang menempati bumi ini. Agar naik level, tentu konsistensi sebagai diri harus lebih inspiratif, sehingga bumi kita tetap terjaga meski bertambah secara usianya.

Salah satu kawasan yang terpenting untuk tetap dijaga dalam eko-sistensinya adalah area pertambangan, bukan hanya pada lahan areanya, namun bukan hanya pada 'lokasi pertambangannya' namun juga lokasi yang ada di sekitar operasional pertambangan dimana masyarakat di sekitar tinggal. Sesuai dengan Kepmen ESDM 1827 Tahun 2018, kajian hidrologi dan geohidrologi dari dampak pertambangan menjadi hal urgen yang harus dipertimbangkan, sekaligus teknis bagaimana reklamasi dilakukan. Tak hanya reklamasi tentunya, namun juga 'resolusi hijau' di sekitar area operasional dimana masyarakat tinggal menjadi penting.

 Tahun 2020,  Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sebanyak 3.092 lubang tambang yang belum di reklamasi di Indonesia. Kerusakan inilah yang kemudian diantisipasi dengan regulasi yang mewajibkan reklamasi bagi seluruh perusahaan tambang. Peraturan reklamasi tambang tertuang dalam Pasal 161 B ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020. Undang-undang ini 'mewajibkan seluruh perusahaan menutup lubang-lubang bekas tambang yang tentu saja dapat mencegah timbulnya korban jiwa'.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga memberikan catatan bahwa sepanjang tahun 2021, seluas 8.539 ha lahan bekas tambang berhasil direklamasi. Reklamasi diharapkan dapat memberi nilai tambah bagi lingkungan bekas tambang yang biasanya menjadi lahan tidak produktif menjadi lebih produktif, baik menjadi lahan pertanian maupun kehutanan, hingga menjadi sarana edukasi dan wisata.

Disrupsi Perubahan Iklim dan Resolusi Hijau di Sektor Tambang


Kalimantan Selatan, merupakan salah satu provinsi yang memiliki nilai cadangan batubara  3,67 miliar ton (https://databoks.katadata.co.id/2022). Nilai yang sangat fantastis mengingat kekayaan yang luar biasa atasa sumber daya mineral. Sumber kekayaan ini tentunya selain berkah juga sekaligus menjadi tantangan yang cukup besar dalam tata kelola lingkungan yang baik, dengan jumlah angka populasi yang terus berkembang sebanyak 4122576,00 (2021) dari 4073584,00 (2020) atau naik sekitar 4 899 2,00 dalam waktu 1 tahun, rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kalimantan Selatan sebesar 1,13%. Padahal jumlah luasan lahan Kalimantan Selatan hanya mencapai 38744,23 ha. Ini artinya, jumlah kepadatan penduduk di Kalimantan Selatan adalah 105 jiwa per Km (BPS Kalimantan Selatan, 2021). Di sisi lain, Kalimantan Selatan juga memiliki keistimewaan dengan mayoritas 28,32% jumlah penduduknya merupakan generasi Z yang lahir pada 1997-2012, dan sebanyak 26,59% merupakan generasi milenial yang lahir pada 1981-1996.

Berdasarkan data ini, tentu menarik ketika Gubernur Kalimantan mencetuskan Perda Provinsi Kalsel No.7/2008, dimana bertujuan menggerakkan seluruh komponen rakyat di Kalsel untuk peduli lingkungan melalui penanaman pohon. Tentu menjadi contoh yang baik mengingat di Provinsi ini memiliki produksi tambang dengan nilai kontribusi sebesar 1,12% dari 3,47% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (BPS Kalimatan Selatan, 2021). Sebagai bagian utama dari penopang ekonomi tentu, resolusi dari masyarakatnya sangat dibutuhkan. Tidak hanya dalam mendorong resolusi hijau yang menjadi prioritas namun juga 'resolusi' yang mengarah pada nilai priotas ekonomi dearah diharapkan mengalami peningkatan.

Resolusi 'hijau' adalah bagian penting dalam memulai 2023, inilah mengapa kemudian sebagai bagian dari usaha pertambanggan, proses reklamasi diperlukan melalui penataan dan pembentukan topografi dengan standar lereng lahan rehabilitasi, pengembalian tanah lapisan atas, pengendalian erosi, pembangunan drainase, pembangunan jalan untuk revegetasi, penghijauan, pemeliharaan tanaman, dan pemantauan keberhasilan. Tujuan upaya ini tak lain adalah 1) mengembalikan vegetasi alami dan ekosistem area pertambangan, 2) mencegah terjadinya penurunan air tanah dan permukaan tanah di area operasional pertambangan, dan khusus di area pemukiman masyarakat yang ada di sekitar tambang juga akan bermanfaat dalam kerangka 3) pengurangan peningkatan suhu udara perkotaan, pencemaran udara (CO2, Oksida Nitrogen, Ozon, Belerang dan Debu), 4) mencegah terjadinya banjir atau genangan, kekeringan, intrusi air laut hingga 5) mencegah peningkatan kandungan logam berat dalam air dan tentu saja 6) mengendalikan perubahan iklim.

Tentu saja resolusi hijau tak bisa ditunda lagi. Tahun 2023, ini menjadi awal yang baik, bagi kita semua untuk ikut andil dalam memberikan dampak positif, mengingat ada banyak dampak perubahan iklim yang terjadi, mulai dari anomali curah hujan, meningkatnya bencana alam, terutama banjir di area Kalimantan Selatan, hingga resiko gagal panen,seperti yang dialami para petani di sekitar lingkar tambang. Belum lagi efek domino dari sisi ekonomi, sosial, dan krisis energi, ditengah 'disrupsi perubahan iklim' dari sisi penambahan angka mal nutrisi, stunting dan jumlah penyakit.

Di sinilah arti pentingnya 'resolusi hijau' di sektor pertambangan di tengah akselerasi 'revolusi industri 4.0' dengan percepatan teknologi artifisial, mulai dari robotik, big data, hingga Internet of Things (IoT) dan sekaligus 'revolusi biologi'  dari dampak disrupsi teknologi dengan mengedepankan reskilling, upskilling dan newskilling sekaligus pada sumber daya yang ada di sektor pertambangan.

Pertama, resolusi hijau di Indonesia, khususnya wilayah Kalimantan Selatan dengan cadangan industri batubara yang mumpuni, harus bisa mengarah pada green and blue economy. Artinya, harus terjadi sharing economy dengan new normal bio-economy, dimana proses dan pola penghidupan masyarakat di sekitar area pertambangan mulai berubah seiring dengan model pertanian dan cara bertani yang menyesuaikan dengan kondisi lahan.

Kedua, Green Economy Initiative (GEI), dimana mendeskripsikan bagaimana green and blue economy sebagai peningkatan kualitas kehidupan manusia dan ekuitas sosial, artinya dengan model inklusifitas penghijauan yang dilakukan di pertambangan secara signifikan akan mengurangi dampak lingkungan dan kelangkaan ekologi. Tentu saja, tak hanya di area operasional tambang, tetapi juga di sekitar masyarakat yang 'tinggal dan bermukim' di sekitar pertambangan.

Ketiga, New Normal Bio-Economy. Langkah menjaga Sumber Daya Alam (SDA), tidak bisa dikatakan cukup atau berhenti pada menjaga keberlanjutannya, melainkan harus ada regenerasi. Analoginya adalah 'perbedaan antara membiarkan pohon tidak disentuh dan menanam lebih banyak pohon'. New Normal Bio-Economy ini memiliki ciri khas 'sirkular-berbagi-regeneratif' menumbuhkan keanekaragaman hayati, meningkatkan 'kepedulian masyarakat' akan pentingnya 'penghijauan' hingga mengonsumsi makanan sehat berbasis biodiversitas. Sehinga biodiversitas yang menjadi program diberbagai sektor pertambangan memiliki added value berupa 'penyediaan, pengaturan, kebudayaan dan pendukung'. Apalagi Indonesia merupakan mega biodiversitas, dengan sekitar 90% flora dunia dapat ditemui, dan 940 jenis berkhasiat sebagai obat.

Ekonomi berbasis biodiversitas di sektor pertambangan, harapannya bisa menjadi pondasi sember ekonomi di masa mendatang melalui pembangunan ekosistem yang melibatkan SDA, modal produsen, dan SDM di sekitar area operasional pertambangan.

Mining  for Life Sebagai Model Keberlanjutan SDGs

Secara konsep ekonomi-ekologi, tertuang dalam Perpres No 59/2017 dimana menyebutkan bahwa pelaku usaha, termasuk sektor pertambangan merupakan elemen penting yang berperan dalam kesuksesan Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia. Pada prinsipnya, sektor pertambangan bertanggungjawab terhadap sektor 'sosial-lingkungan' dalam perannya menjalankan target keberlanjutan, baik selama operasional maupun pasca operasional. Bahkan dalam perencanaan, tanggungjawab ini juga tertuang dalam berbagai studi kelayakan yang dilakukan sebelum tambang mulai beroperasi (pemenuhan kebijakan atas berlakunya Permen ESDM 25/2018 dan Kepmen ESDM 1824/2018, melalui Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat-PPM).

Resolusi hijau pada sektor tambang, tentu saja diarahkan dalam kerangka good mining practicies, dimana tetap mempertahankan keberlanjutan lingkungan-sosial, mengingat besarnya kontribusi dalam pembangunan nasional bahkan perubahan peradaban dimana masyarakat tinggal disekitarnya. Hal ini juga telah tertuang dalam Kepmen ESDM 1827/2018 dimana good mining practicies menjadi penekanan dalam pelaksanaan sektor pertambangan. Artinya, ini merupakan wujud kepedulian yang menjadi 'garis operasional' agar dapat memberikan manfaat yang terukur baik secara lingkungan maupun sosial, tanpa mengabaikan kebutuhan akan sektor pertambangan logam-mineral bagi kebutuhan negara. Kontribusi utama pertambangan, juga terlihat dari adanya pengembangan masyarakat di sekitar area tambang, penciptaan lapangan kerja karena merupakan sektor 'padat karya' dengan kebutuhan atas SDM yang cukup tinggi.

Mining for life dalam SDGs tentu saja menjadi acuan dalam kerangka menjalankan bisnis dunia pertambangan. Tidak harus melakukan hal besar, namun perubahan kecil menuju keberlanjutan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya juga menjadi salah satu indikator keberhasilan pencapaian SDGs.

Pertama, perencanaan reklamasi sesuai peruntukan, mulai dari skema reklamai tambang dan kondisi tata ruang. Analisis lahan, mulai dari kondisi iklim, geologi, jenis tanah, bentuk lahan, air permukaan dan air tanah, hingga flora fauna di sekitar area tambang. Pemetaan juga menjadi faktor penting untuk melihat rencana kemajuan aktivitas tambang, timbunan terak, timbunan tanah penutup, kolam untuk persediaan air pemukiman dengan waktu yang diterterakan. Berikutnya adalah persiapan lahan, mulai dari pengelolaan tanah, pembuatan drainase dan perbaikan tanah.

Kedua, proses revegetasi, mulai dari pengukuran kesuburan pada media tanam, pemilihan tanaman dengan lahan bekas tambang, memperhatikan kondisis iklim dan penyiapan tanaman sisipan. Proses ini misalnya mulai dilakukan oleh area sekitar tambang yang ada di PT Banjar Bumi Persada (BBP) dan PT Mitra Agro Semesta (MAS) yang ada di Kalimantan Selatan dengan target luasan 173. 06 Ha. Proses revegetasi ini juga mempertimbangkan tanaman lokal perintis, agar mudah beradaptasi, cepat tumbuh dan hemat biaya, merangsang datangnya vektor pembawa biji dan tentunya merupakan tanaman penutup tanah (cover crop) dimana berfungsi sebagai pupuk hijau untuk tanah. Tentunya setelah proses ini selesai, langkah selanjutnya adalah pemantauan guna keberhasilan sesuai standard, sehingga erosi ataupun yang bersifat kebencanaan dapat diminimalisir.

Ketiga, penghiajuan ditingkat masyarakat lokal di sekitar operasional pertambangan. Proses ini menjadi satu keterkaitan ketika akan melakukan kegiatan reklamasi. Tak bisa dipungkiri, 'mining for life' salah satu aspek penting bagaimana manfaat dari operasional tambang bisa dirasakan oleh masyarakat. Berbagai program sosial yang menjadi faktor utama juga harus terukur secara indikator.

1) Integrated environemnt and living program, yakni  pengembangan penghijauan lahan pekarangan, hal ini harus disenergikan dengan penataan lingkungan. Artinya masyarakat di sekitar area tambang harus diajak, dilibatkan dalam kebiasaan berkelanjutan, berdampingan dengan SDA dalam rutinitas keseharian sehingga secara individu merasa 'menjadi bagian' yang turut serta terlibat dalam pengelolaan lingkungan di masa depan.  Paling tidak program penghijauan ditingkat masyarakat bisa menjadi program terpadu dalam kerangka 'integrated environemnt and living' dalam better quality life, mulai dari penciptaan lingkungan yang sehat, sumber makanan yang sehat dan hemat ekonomi keuangan. Hal ini tentu saja mendorong pencapaian SDGs 2 (zero hunger) dan SDGs 3 (good health well-being), melalui ketersediaan makanan sehat dan kehidupan yang lebih berkualitas.

2) Farmer Field Schools (FFS) program, yakni program sekolah lapang pertanian untuk keberlanjutan masyarakat sekitar. Program ini menjadi bagian integrasi dalam kerangka pengembangan pendapatan riil dan kemandirian ekonomi melalui penghijauan pertanian sesuai dengan komoditi lokal. Langkah ini sekaligus upaya SDGs pada aspek adaptasi perubahan iklim (SDGs 13) dan kemitraan (SDGs 17).

3) Women Empowerment program, merupakan program yang khusus memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang secara inklusif di sekitar area operasional pertambangan dan bukan terbatas sebagai 'pekerja di sektor pertambangan'. Ada banyak model yang bisa dilakukan, terkait inisiatif resolusi hijau, tidak hanya melalui tanaman pekarangan-pertanian, namun juga melalui penyediaan tambahan makanan bergizi bagi para ibu hamil, pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan green product di sekitar area, termasuk keterlibatan dalam model tata kelola sanitasi yang baik buat keluarga dimana sangat terkait erat dengan tata kelola air yang ada didalam area operasional pertambangan. Program ini tentu saja untuk capaian SDGs 5

Karenanya, resolusi hijau adalah salah satu bukti nyata keberhasilan menuju keberhasilan SDGs di Indonesia, khususnya menuju good mining practicies dalam bentuk 'tambang hijau'. Mari kita awali 2023 dengan langkah positif menuju tambang Indonesia lebih baik, melalui integrasi program yang berpihak pada sosial dan lingkungan di sekitar kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun