Pertama, resolusi hijau di Indonesia, khususnya wilayah Kalimantan Selatan dengan cadangan industri batubara yang mumpuni, harus bisa mengarah pada green and blue economy. Artinya, harus terjadi sharing economy dengan new normal bio-economy, dimana proses dan pola penghidupan masyarakat di sekitar area pertambangan mulai berubah seiring dengan model pertanian dan cara bertani yang menyesuaikan dengan kondisi lahan.
Kedua, Green Economy Initiative (GEI), dimana mendeskripsikan bagaimana green and blue economy sebagai peningkatan kualitas kehidupan manusia dan ekuitas sosial, artinya dengan model inklusifitas penghijauan yang dilakukan di pertambangan secara signifikan akan mengurangi dampak lingkungan dan kelangkaan ekologi. Tentu saja, tak hanya di area operasional tambang, tetapi juga di sekitar masyarakat yang 'tinggal dan bermukim' di sekitar pertambangan.
Ketiga, New Normal Bio-Economy. Langkah menjaga Sumber Daya Alam (SDA), tidak bisa dikatakan cukup atau berhenti pada menjaga keberlanjutannya, melainkan harus ada regenerasi. Analoginya adalah 'perbedaan antara membiarkan pohon tidak disentuh dan menanam lebih banyak pohon'. New Normal Bio-Economy ini memiliki ciri khas 'sirkular-berbagi-regeneratif' menumbuhkan keanekaragaman hayati, meningkatkan 'kepedulian masyarakat' akan pentingnya 'penghijauan' hingga mengonsumsi makanan sehat berbasis biodiversitas. Sehinga biodiversitas yang menjadi program diberbagai sektor pertambangan memiliki added value berupa 'penyediaan, pengaturan, kebudayaan dan pendukung'. Apalagi Indonesia merupakan mega biodiversitas, dengan sekitar 90% flora dunia dapat ditemui, dan 940 jenis berkhasiat sebagai obat.
Ekonomi berbasis biodiversitas di sektor pertambangan, harapannya bisa menjadi pondasi sember ekonomi di masa mendatang melalui pembangunan ekosistem yang melibatkan SDA, modal produsen, dan SDM di sekitar area operasional pertambangan.
Mining  for Life Sebagai Model Keberlanjutan SDGs
Secara konsep ekonomi-ekologi, tertuang dalam Perpres No 59/2017 dimana menyebutkan bahwa pelaku usaha, termasuk sektor pertambangan merupakan elemen penting yang berperan dalam kesuksesan Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia. Pada prinsipnya, sektor pertambangan bertanggungjawab terhadap sektor 'sosial-lingkungan' dalam perannya menjalankan target keberlanjutan, baik selama operasional maupun pasca operasional. Bahkan dalam perencanaan, tanggungjawab ini juga tertuang dalam berbagai studi kelayakan yang dilakukan sebelum tambang mulai beroperasi (pemenuhan kebijakan atas berlakunya Permen ESDM 25/2018 dan Kepmen ESDM 1824/2018, melalui Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat-PPM).
Resolusi hijau pada sektor tambang, tentu saja diarahkan dalam kerangka good mining practicies, dimana tetap mempertahankan keberlanjutan lingkungan-sosial, mengingat besarnya kontribusi dalam pembangunan nasional bahkan perubahan peradaban dimana masyarakat tinggal disekitarnya. Hal ini juga telah tertuang dalam Kepmen ESDM 1827/2018 dimana good mining practicies menjadi penekanan dalam pelaksanaan sektor pertambangan. Artinya, ini merupakan wujud kepedulian yang menjadi 'garis operasional' agar dapat memberikan manfaat yang terukur baik secara lingkungan maupun sosial, tanpa mengabaikan kebutuhan akan sektor pertambangan logam-mineral bagi kebutuhan negara. Kontribusi utama pertambangan, juga terlihat dari adanya pengembangan masyarakat di sekitar area tambang, penciptaan lapangan kerja karena merupakan sektor 'padat karya' dengan kebutuhan atas SDM yang cukup tinggi.
Mining for life dalam SDGs tentu saja menjadi acuan dalam kerangka menjalankan bisnis dunia pertambangan. Tidak harus melakukan hal besar, namun perubahan kecil menuju keberlanjutan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya juga menjadi salah satu indikator keberhasilan pencapaian SDGs.
Pertama, perencanaan reklamasi sesuai peruntukan, mulai dari skema reklamai tambang dan kondisi tata ruang. Analisis lahan, mulai dari kondisi iklim, geologi, jenis tanah, bentuk lahan, air permukaan dan air tanah, hingga flora fauna di sekitar area tambang. Pemetaan juga menjadi faktor penting untuk melihat rencana kemajuan aktivitas tambang, timbunan terak, timbunan tanah penutup, kolam untuk persediaan air pemukiman dengan waktu yang diterterakan. Berikutnya adalah persiapan lahan, mulai dari pengelolaan tanah, pembuatan drainase dan perbaikan tanah.
Kedua, proses revegetasi, mulai dari pengukuran kesuburan pada media tanam, pemilihan tanaman dengan lahan bekas tambang, memperhatikan kondisis iklim dan penyiapan tanaman sisipan. Proses ini misalnya mulai dilakukan oleh area sekitar tambang yang ada di PT Banjar Bumi Persada (BBP) dan PT Mitra Agro Semesta (MAS) yang ada di Kalimantan Selatan dengan target luasan 173. 06 Ha. Proses revegetasi ini juga mempertimbangkan tanaman lokal perintis, agar mudah beradaptasi, cepat tumbuh dan hemat biaya, merangsang datangnya vektor pembawa biji dan tentunya merupakan tanaman penutup tanah (cover crop) dimana berfungsi sebagai pupuk hijau untuk tanah. Tentunya setelah proses ini selesai, langkah selanjutnya adalah pemantauan guna keberhasilan sesuai standard, sehingga erosi ataupun yang bersifat kebencanaan dapat diminimalisir.
Ketiga, penghiajuan ditingkat masyarakat lokal di sekitar operasional pertambangan. Proses ini menjadi satu keterkaitan ketika akan melakukan kegiatan reklamasi. Tak bisa dipungkiri, 'mining for life'Â salah satu aspek penting bagaimana manfaat dari operasional tambang bisa dirasakan oleh masyarakat. Berbagai program sosial yang menjadi faktor utama juga harus terukur secara indikator.