Mohon tunggu...
Nor Annisa
Nor Annisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Peluru hanya bisa menembus satu kepala. Namun, menulis bisa menembus ribuan, bahkan jutaan kepala. (Sayyid Qutub)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Substansi Ilmu Menurut Perspektif Ontologi

7 November 2020   20:30 Diperbarui: 7 November 2020   20:32 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Gambar Ilustrasi_DosenMuslim.com

Dalam filsafat ilmu, ilmu tidak terlepas dari adanya landasan Ontologi, Epistimologi  dan Aksiologi. Pada kesempatan kali ini penulis hanya akan memaparkan mengenai ontologi. 

Definisi Ontologi

Apa itu ontologi dalam filsafat ilmu? Ontologi diambil dari dua kata yaitu Ontos ialah sesuatu yang berwujud atau ada dan logos berarti ilmu. Adapun menurut Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya berjudul  

Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer menyebutkan bahwa ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang "ada". Secara sederhana ontologi berarti ilmu tentang wujud hakikat yang ada atau cara untuk memahami hakikat ilmu. 

Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M dalam menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisika. Dalam perkembangannya Cristian Wolff (1679-1775 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. 

Metafisika umum disebut juga dengan ontologi yang membahas tentang wujud atau ada, sedangkan metafisika khusus terdiri dari kosmologi, teologi metafisik dan filsafat antropologi. 

Dengan demikian, dalam hal ini ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. 

Maka dapat disimpulkan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang "ada" serta mengkaji hakikat kebenaran dari yang "ada" itu dengan tidak mengabaikan bukti yang empiris dan persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana yang "ada" itu.

Sahabat sekalian, kita tahu bahwa hakikat itu tidak dapat dijangkau oleh pancaindera karena tidak berbentuk, berupa, berwaktu dan bertempat. Namun, dengan mempelajarai hakikat kita dapat memperoleh pengetahuan dan menjawab pertanyaan apa hakikat ilmu itu. Sebab ilmu itu ialah cara mendapatkan kebenaran yang bersifat umum, konseptual, empiris dan rasional. 

Adapun objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu, karena tidak dapat dibuktikan secara metodelogis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi pada dunia emperis atau berasal dari pengalaman manusia yang dapat di jangkau oleh pancaindera.

Lantas apa fungsinya kita mempelajari ontologi dalam kehidupan? Tentunya ontologi mempunyai fungsi tersendiri diantaranya fungsi dari adanya ontologi dalam filsafat ilmu terhadap hidup manusia ialah sebagai alat bantu manusia dalam menaggulangi masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.

Membantu untuk mengembangkan dan mengkritis berbagai sistem pemikiran yang ada, membantu memecahkan masalah, dapat mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan dan masalah serta pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan juga berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris.

Perlu juga kita diketahui bahwa dalam ontologi ilmu dikenal adanya asumsi, peluang dan batas-batas penjelajahan ilmu, maka kita perlu untuk megetahui dan memahaminya.

  • Asumsi

Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berfikir karena dianggap benar. Sedangkan pengertian asumsi dalam filsafat ilmu ini merupakan anggapan atau andaian dasar tentang realitas suatu objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi anggapan orang atau pihak tentang realitas bisa berbeda, tergantung dari sudut pandang dan kacamata apa. Asumsi berperan sebagai dugaan atau andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan. Ia diperlukan sebagai arah atau landasan bagi kegiatan penelitian sebelum sesuatu yang diteliti tersebut terbukti kebenarannya.

  • Peluang

Dalam perkembangannya peluang menjadi salah satu cabang ilmu baru yang kemudian dikenal dengan ilmu probabilistik atau ilmu peluang. Probabilitas merupakan salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa untuk menjelaskan fakta dari suatu pengamatan, tidak pernah pasti secara mutlak karena masih ada kemungkinan kesalahan pengamatan. Namun di luar dari pada itu jika hal ini ditinjau dari hakikat hukum keilmuan maka terdapat kepastian yang lebih besar lagi. Hal itu karena ilmu menyimpulkan sesuatu dengan kesimpulan probabilistik. Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari presentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.

  • Apakah batas-batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu?

Ilmu hanya membatasi dari pada hal-hal yang berada dalam batas pengalaman kita, batas penjelajahan ilmu itu hanya pada pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman manusia tersebut. Karena fungsi ilmu sendiri dalam hidup manusia yaitu sebagai alat bantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak kita tanyakan pada ilmu, melainkan kepada agama. Sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu. Ilmu membatasi batas penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan pada metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah diuji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, maka pembuktian metodologis tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, penjelajahan ilmu terbatas pada empiris, rasional dan parsial atau ilmu tidak bisa membuka penjelajahan baru namun ilmu hanya mengembangkan apa yang sudah ditemukan oleh filsafat.

Lantas bagaimanakah jika Ontologi dikolerasikan dengan Ilmu Hukum?

Dalam ontologi yang dipertanyakan adalah apa hakikat ilmu itu? Misalnya jika ilmu hukum dilihat dari aspek ontologi ilmu, maka akan mempertanyakan apa hakikat ilmu hukum itu? Ontologi Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial (inti atau hakikat) dari Ilmu Hukum tersebut. Dilihat dari aspek ontologi ilmu hukum obyek kajiannya adalah hukum. Secara universal ada 3 aspek yang dipelajari dari Ilmu Hukum yaitu :

a). Nilai-nilai hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum dan lain lain

b). Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, dan

c). Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.

Dengan 3 bidang aspek dari Ilmu Hukum tersebut akan menimbulkan pertanyaan tentang apakah titik tolak kajian substansial (inti atau hakikat) dari Ilmu Hukum melalui aspek Ontologi Ilmu ? Ternyata dari aspek Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum terletak pada "Kaidah-kaidah Hukum". Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum. Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi kaidah hukum itu bila dilanggar menimbulkan adanya sanksi. Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Namun, yang perlu menjadi titik tolak bidang kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan dengan nilai dan perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata sebagai hukum yang hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris. Pada dasarnya perintah perilaku yang mewujudkan isi kaidah hukum dapat digolongkan secara umum yaitu: perintah, larangan, pembebasan dan izin.

Selain dari aspek tersebut kaidah hukum dapat juga ditentukan dalam hukum yang tercatat/terdokumentasikan maksudnya ialah kaidah hukum tidak tertulis yang tercatat atau dicatat oleh pemimpin formal, informal dan para sarjana dalam penelitian, seperti : hasil-hasil penelitian Hukum adat dan penilaian ahli hukum. Begitu pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis maksudnya ialah kaidah hukum dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh Negara, seperti : UU, Yurisprudensi, Keputusan Pemerintah Pusat/Daerah dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat rasional. Pembentuknya (seperti DPR/DPD, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai pandangan tertentu yang cukup berperan dalam terbentuknya hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadi hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak berwibawa sehingga anggota masyarakat menjadi patuh. Hukum yang hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang berwibawa. Pihak yang berwibawa sudah tentu mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah membiasa, serta sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

Dengan demikian ditinjau dari gambaran diatas maka dapat ditarik 2 asumsi dasar. Pertama, bahwasanya kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat. Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas dari legitimasi kewibawaan yang mengakibatkan adanya pertimbangan nilai. Maka pertimbangan nilai dari pihak berwibawa inilah yang bersifat relatif. Hal ini menunjukkan adanya jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari presentase kebenaran yang dikandung ilmu hukum tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan pancaindera. Namun hukum juga bersangkutan dengan manusia yang secara utuh antara jiwa dan badan, individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan. Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara pribadi. Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia, bagaimana manusia terlindungi dari kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain, dan ini merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku, dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah pranata hukum dan lembaga hukum, yang merupakan aspek sosial dari kaidah hukum. Aspek personal dan aspek sosial dari kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi usaha-usaha untuk mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural. Tegasnya bahwa proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses berbudaya sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti yang diatur dari kaidah hukum yang secara hakikat titik tolak kajian dari Ilmu Hukum. Demikianlah mengenai Ontologi serta gambaran bagaimana hakikat ilmu hukum dikaji dari aspek Ontologi Ilmu.

Semoga bermanfaat, sekian dan terimakasih..!:)

                                       

Sumber :

A.Susanto, Filsafat Ilmu,(Jakarta:Bumi Aksara,2001)

Jalaluddin,Filsafat Ilmu Pengetahuan,(Jakarta: Rajawali Pers,2013)

Jujun S. Suriasumantri,Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010)

Muhammad Adib, Filsafat Ilmu,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun