Sinar matahari begitu terik, hingga panas terasa membakar kulit. Meskipun begitu, angin seperti menjadi obat, sebab hadirnya dia memberikan kesejukan yang melegakan. Melewati belokan, tampak hamparan sawah yang sedang menguning. Ada yang sudah muncul sisa-sisa pembakaran di sawah yang satu, ada juga sawah lainnya yang Masih terlihat menguning.
Aku mengambil jalur kanan setelah melihat semua yang tergambar. Tak lama, aku sampai di persimpangan yang terdapat pohon manggis di pinggir kanannya. Aku masuk ke jalan yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau sepeda motor itu. Jalan itu tampak begitu rapuh dan becek. Memang, kemarin hujan sempat turun.
Setelah lurus berjalan, aku berhenti dan berbelok ke kiri. Tampak makam-makam itu bersih, meskipun masih ada sisa-sisa rumput yang habis dipangkas di sana. Aku pun melangkah menuju satu makam bernisan merah dan duduk bersila di pinggirannya. Aku menatapi nisan merah yang bertuliskan kalimat istirja, nama, tanggal lahir dan tanggal wafat.
Aku mulai membersihkan rumput-rumput kecil yang tumbuh di atas kerikil makam dan pinggiran nisan merah itu. Setelah selesai, aku menyapu daun-daun kering yang ada di pinggiran makam dan membersihkan nisan merah yang kotor terkena tanah setelah pencabutan rumput. Akhirnya, setelah semua beres, aku kembali duduk bersila dan menadahkan tangan. Bibir dan lisanku bergerak merapalkan doa.
"Bunda, setelah sekian purnama, Gita kembali ke sini ya."
Kalimat itu hanya dijawab oleh angin yang berhembus pelan, hingga daun-daun kering perlahan kembali jatuh ke atas nisan.
"Bunda, maafin Gita ya. Gita memilih pergi, bukan menjaga rumah yang bunda perjuangin."
Aku diam sejenak dan tak lama menghela napas pelan.
"Gita pergi, bukan berarti Gita egois. Gita juga berhak bahagia bunda, dan bahagia Gita bukan di rumah yang bunda perjuangin."
Angin masih berhembus pelan, tapi kini terdengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari pengeras suara musala terdekat. Aku tahu, itu masih penanda waktu Duha, bukan Zuhur, sebab sekarang masih pagi.