Beberapa waktu terakhir, perhatian publik tersedot ke sebuah keputusan pemerintah yang mungkin tidak terlalu ramai dibicarakan, tetapi dampaknya signifikan. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah melarang penggunaan layanan internet satelit Starlink di kendaraan yang bergerak. Alasan utama: izin yang diberikan kepada Starlink adalah untuk layanan tetap, bukan bergerak. Maka, setiap bentuk penggunaan perangkat Starlink di kendaraan, baik darat maupun laut, dianggap melanggar aturan.
Dari sudut pandang regulasi, keputusan ini barangkali masuk akal. Ada batasan teknis. Ada kategori izin yang berbeda antara jaringan tetap dan bergerak. Tetapi ketika keputusan ini dibaca dari perspektif kebutuhan publik, terutama mereka yang berada di luar jangkauan infrastruktur internet konvensional, maka muncul sejumlah pertanyaan mendasar: Apakah kita sedang membatasi teknologi karena keterbatasan regulasi? Apakah aturan ini berpihak pada kebutuhan publik, atau justru membuat jurang digital semakin lebar?
Indonesia adalah negara kepulauan. Banyak wilayah yang hingga hari ini belum memiliki akses internet yang stabil, atau bahkan sama sekali tidak terjangkau sinyal. Fakta ini sudah kita terima sebagai kenyataan bertahun-tahun. Namun dalam beberapa waktu terakhir, muncul harapan baru: Starlink.
Dengan sistem satelit orbit rendah dan perangkat penerima yang ringkas, Starlink menghadirkan internet berkecepatan tinggi ke tempat-tempat yang sebelumnya nyaris tak terjamah. Banyak masyarakat di wilayah pedalaman, pesisir, dan pegunungan mulai merasakan manfaatnya. Bahkan, di sejumlah daerah, Starlink menjadi satu-satunya solusi konektivitas yang tersedia secara praktis.
Namun, bagi sebagian besar pengguna di daerah pelosok, koneksi tetap bukanlah pilihan yang ideal. Mobilitas justru menjadi kebutuhan utama. Ambulans, kapal nelayan, kendaraan logistik, dan tim layanan darurat adalah contoh pihak yang membutuhkan koneksi saat bergerak. Dalam banyak kasus, sinyal dibutuhkan bukan hanya saat berhenti, tetapi justru saat sedang berpindah, karena di situlah keputusan penting diambil, komunikasi dibutuhkan, dan informasi harus mengalir.
Dengan larangan penggunaan Starlink dalam kondisi bergerak, banyak dari potensi manfaat itu menjadi tidak relevan. Teknologi yang semestinya menjembatani, malah kembali dibatasi oleh definisi administratif.
Tentu saja, setiap negara berhak mengatur sistem komunikasinya. Ada kebutuhan untuk menjaga keamanan frekuensi, memastikan sistem berjalan dengan aman, serta mendorong persaingan yang sehat di industri telekomunikasi. Namun, regulasi seharusnya tidak menjadi tembok yang menghalangi kebutuhan nyata masyarakat. Justru regulasi harus tumbuh mengikuti dinamika sosial dan perkembangan teknologi.
Larangan semacam ini sebetulnya menunjukkan celah dalam tata kelola kebijakan digital kita: antara keinginan untuk menghadirkan konektivitas merata dan ketidaksiapan sistem untuk mengakomodasi cara baru dalam mengakses internet. Di satu sisi, pemerintah mendorong percepatan transformasi digital. Di sisi lain, teknologi yang bisa mempercepat itu dibatasi ruang geraknya. Ini adalah kontradiksi yang patut kita renungkan bersama.
Maka, pertanyaannya bukan apakah Starlink boleh bergerak atau tidak. Pertanyaannya adalah: bagaimana negara bisa menciptakan kerangka regulasi yang memungkinkan teknologi seperti Starlink bekerja secara optimal, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip kedaulatan dan keamanan? Bagaimana mekanisme perizinan bisa dibuka secara selektif untuk layanan bergerak di wilayah yang memang sangat membutuhkan? Apakah perlu dibuat kategori pemanfaatan khusus, misalnya untuk tanggap darurat, pendidikan, atau layanan kesehatan?
Dalam konteks Indonesia, yang tantangan geografisnya sangat kompleks, solusi tidak bisa seragam. Teknologi bergerak seperti Starlink bisa menjadi pelengkap, bukan pengganti, dari infrastruktur yang sudah ada. Kolaborasi antara penyedia global dengan operator lokal juga bisa menjadi jalan tengah yang saling menguntungkan. Namun hal ini hanya mungkin terjadi jika negara membuka ruang dialog yang sehat, serta membangun regulasi yang fleksibel dan responsif.
Pada akhirnya, pembatasan layanan internet bukan hanya persoalan teknis. Ia juga persoalan akses, keadilan, dan masa depan. Ketika dunia bergerak ke arah konektivitas tanpa batas, kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan yang semata berlandaskan kategori izin lama. Kita harus bertanya lebih jauh: siapa yang benar-benar dilayani oleh kebijakan ini? Siapa yang terdampak? Dan apakah keputusan itu mendekatkan kita pada tujuan internet merata, atau justru menjauhkannya?
Internet bukan sekadar soal kecepatan atau jaringan. Ia adalah hak dasar di era digital, jembatan ke pendidikan, layanan publik, dan peluang ekonomi. Dalam membangun jembatan itu, negara seharusnya tidak hanya melihat ke langit dan menghitung satelit, tetapi juga menengok ke daratan, ke desa-desa yang masih menunggu sinyal, ke jalan-jalan yang belum terhubung, dan ke masyarakat yang ingin ikut bergerak maju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI