Bayangkan seorang anak di pedalaman Papua yang akhirnya bisa melakukan panggilan video dengan ibunya di kota, tersambung lewat WhatsApp menggunakan koneksi satelit. Bagi banyak dari kita di kota besar, itu adalah hal biasa. Tapi bagi mereka, itu adalah keajaiban kecil, sebuah jembatan emosional yang melampaui jarak dan keterbatasan. Sayangnya, di tengah gegap gempita kemajuan teknologi, akses seperti ini justru terancam. Bukan karena alasan teknis, tapi karena tarik-menarik antara regulasi yang kaku, kepentingan korporasi, dan kebijakan yang lupa bahwa teknologi seharusnya memanusiakan, bukan membatasi.
Dari inisiatif gotong royong RT/RW Net di masa awal internet, hingga kehadiran teknologi satelit seperti Starlink, hingga kini wacana pembatasan WhatsApp Call, pola yang sama terus berulang: rakyat berinovasi, korporasi merasa terusik, lalu negara hadir sebagai “penengah” yang justru kerap berat sebelah. Sejarah akses informasi di Indonesia, jika ditulis jujur, adalah kisah tentang rakyat yang terus dihadang ketika mencoba menjangkau dunia.
Kita perlu mundur sejenak ke dua dekade lalu. Saat itu, internet adalah barang mewah. Aksesnya terbatas di kota besar, mahal, dan hanya bisa dinikmati kalangan tertentu. Namun, dari kegelisahan itu lahirlah inovasi dari akar rumput. Salah satu yang paling monumental adalah konsep RT/RW Net, dipopulerkan oleh Dr. Onno W. Purbo, seorang akademisi dan praktisi yang percaya bahwa internet adalah hak dasar warga negara. Dengan peralatan seadanya dan kreativitas luar biasa, termasuk memodifikasi wajan menjadi antena penerima sinyal, masyarakat bisa berbagi akses internet secara mandiri. Demokratisasi informasi seperti ini adalah fondasi bagi masyarakat digital yang inklusif.
Namun, antusiasme itu tak lepas dari friksi. Salah satu yang menyayat adalah kasus Muhammad “Edo” Ridwan, pemuda inovatif yang dipenjara karena dianggap melanggar hukum dengan “menjual kembali” akses internet. Ia tidak menipu, tidak mencuri bandwidth, hanya menjawab kebutuhan lingkungan sekitar yang tak tersentuh layanan operator besar. Tapi justru negara yang turun tangan, bukan untuk memberi penghargaan, tapi hukuman. Sebuah ironi: rakyat mencari solusi karena negara absen, tapi saat solusi itu mengancam status quo pasar, negara justru jadi algojo.
Kini, puluhan tahun setelah itu, teknologi jauh lebih canggih. Kita tidak lagi bicara kabel LAN dan modem dial-up, tapi konstelasi satelit Low Earth Orbit seperti yang diusung Starlink. Teknologi ini membuka kemungkinan bagi warga di wilayah 3T, Terdepan, Terluar, Tertinggal, untuk mengakses internet berkecepatan tinggi tanpa harus menunggu menara BTS berdiri. Ini seharusnya menjadi momen emas dalam sejarah pembangunan digital Indonesia.
Namun apa yang terjadi? Pendaftaran pelanggan Starlink tiba-tiba dihentikan. Regulasi soal “hak labuh satelit” dikaji ulang. Evaluasi ketat diberlakukan. Wacana yang semula berisi harapan berubah menjadi kekhawatiran. Apakah ini langkah perlindungan atas kepentingan nasional, atau sebenarnya bentuk perlindungan terhadap dominasi operator lama yang merasa pasarnya direbut?
Pertanyaan ini penting, bukan untuk mencurigai pemerintah, tapi untuk menguji niat. Sebab, pengalaman menunjukkan bahwa regulasi di sektor ini acap kali lebih cepat tanggap saat korporasi merasa terganggu, ketimbang saat masyarakat mengeluh tidak terjangkau. Kita menyaksikan gejala yang sama kini bergulir dalam wacana pembatasan layanan panggilan suara dan video dari aplikasi OTT seperti WhatsApp Call, Telegram, dan Zoom.
Argumen yang diajukan terkesan logis: agar tercipta level playing field dengan operator telekomunikasi nasional. Namun mari kita cermati: siapa yang benar-benar diuntungkan? Dan siapa yang dirugikan? Operator memang menyebut bahwa panggilan gratis OTT menggerus pendapatan mereka. Tapi perlu diingat, selama dua dekade terakhir, mereka telah menikmati keuntungan besar dari dominasi infrastruktur dan layanan SMS serta suara. Kini, ketika tren berubah ke data dan masyarakat beralih ke aplikasi yang lebih murah dan fleksibel, mereka seharusnya berinovasi, bukan meminta perlindungan negara.
Jika layanan gratis dianggap “mengganggu bisnis,” maka sejatinya yang terganggu adalah model bisnis yang gagal beradaptasi. Bukankah esensi persaingan adalah inovasi, bukan perlindungan? Jika WhatsApp Call dibatasi, lalu bagaimana dengan nasib jutaan buruh migran yang bergantung pada layanan itu untuk tetap terhubung dengan keluarga? Bagaimana dengan guru di pelosok yang mengajar lewat video call? Atau pelaku UMKM yang bertransaksi lintas kota melalui pesan suara dan video?
Kita hidup di era ketika sinyal adalah oksigen, dan data adalah air bersih. Membatasi akses terhadapnya bukan hanya tidak bijak, tapi bisa dikategorikan sebagai bentuk penindasan digital. Ironis, ketika pemerintah gencar membangun menara, namun pada saat bersamaan, membatasi pintu-pintu komunikasi yang justru menjadi urat nadi kehidupan masyarakat modern.