Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pertunjukan yang Terus Berulang: Ahok, Pertamina, dan Narasi di Baliknya

21 Maret 2025   13:39 Diperbarui: 21 Maret 2025   13:39 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Tom Fisk: https://www.pexels.com/id-id/foto/sampah-sisa-limbah-bahaya-6150117/ 

Seperti sedang menonton Tarkam dari pinggir lapangan, saya menyimak pertunjukan ini. Bukan karena ingin tahu siapa yang benar atau salah, tetapi karena kelelahan berharap. Setiap pergantian era, kita disuguhi ilusi perubahan, seolah sistem yang sakit bisa sembuh hanya dengan mengganti para pemainnya. Lalu, ketika drama berlanjut dan skandal demi skandal kembali menyeruak, kita hanya bisa bertanya: apakah ini memang pola yang tak terhindarkan?

Di sudut arena yang bising, terselip nama yang sejak dulu membawa beban persepsi, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok. Sosok yang pernah menciptakan gelombang dalam politik Indonesia, kini kembali terseret dalam pusaran yang lebih besar: korupsi di tubuh Pertamina. Sebagai Komisaris Utama, posisinya tidak serta-merta menempatkannya di pusaran langsung perkara, tetapi di negeri ini, keterlibatan bisa dibentuk oleh narasi. Apalagi ketika politik sudah lebih mirip permainan catur, di mana bidak bisa dikorbankan untuk menyelamatkan raja.

Ahok dikenal sebagai figur yang meledak-ledak, seseorang yang tak segan mengiris kebusukan dengan kata-kata tajamnya. Reputasi itu pula yang menjadi pagar betisnya ketika tuduhan mulai berkelindan di ruang publik. Dalam wawancaranya dengan kanal YouTube Narasi dan Liputan 6, ia membantah, menegaskan bahwa dirinya tak punya celah untuk terlibat dalam skandal ini. Sebuah pernyataan yang tegas, tapi apakah cukup? Sebab di panggung besar kekuasaan, kebenaran bukan sekadar soal fakta, melainkan soal siapa yang lebih piawai mengendalikan narasi.

Ada sesuatu yang ganjil dalam cara isu ini berkembang. Seperti sebuah skenario yang disusun dengan teliti, timing yang terasa begitu presisi. Tidak sulit untuk mencurigai adanya elemen politik yang ikut bermain. Ahok, bagaimanapun, adalah politisi dari partai oposisi. Meski ia tak lagi berada di garis depan panggung politik, posisinya tetap menjadi simbol. Dan dalam politik, simbol bisa lebih berbahaya daripada individu. Mengaitkannya dengan skandal bisa jadi bukan soal benar atau salah, tetapi lebih pada bagaimana menciptakan riak yang bisa mengguncang stabilitas lawan.

Saya tak ingin terjebak dalam prasangka, tetapi pola yang terbentuk sulit diabaikan. Seperti riak di permukaan air yang berasal dari dorongan tak kasatmata, ada kesan bahwa ini lebih dari sekadar perkara hukum, ini adalah panggung di mana figur yang pernah mengguncang status quo kembali diseret ke tengah gelanggang. Tarikan kepentingan begitu terasa, seakan ada upaya terselubung untuk mengubah persepsi, membiaskan kenyataan agar publik melihatnya melalui lensa yang sudah lebih dulu diatur. Ini bukan sekadar soal siapa bersalah, melainkan tentang siapa yang perlu dilemahkan dalam permainan yang lebih besar.

Tentu saja, semua ini bisa jadi hanya spekulasi. Politik Indonesia selalu memiliki ruang abu-abu yang sulit dipetakan secara pasti. Tetapi di sinilah letak jebakan sejarah yang terus berulang: kita terlalu sering terjebak dalam lingkaran harapan dan kekecewaan. Sebuah pola yang telah lama menjadi menu utama dalam konsumsi publik.

Ketika skandal seperti ini mencuat, kita disodori berbagai versi kebenaran. Media membentuk opini, buzzer memainkan propaganda, dan publik didorong untuk memihak. Padahal, bagi banyak orang, politik sudah lama terasa seperti panggung sandiwara di mana plot twist bukan lagi kejutan, melainkan bagian dari skenario yang selalu terulang. Mungkin, itulah mengapa saya memilih untuk menyimak dari pinggir lapangan, bukan sebagai peserta, tetapi sebagai pengamat yang lelah melihat pola yang terus berulang.

Saya bukan pembela Ahok, bukan pula penuduh. Saya hanya menyaksikan bagaimana mekanisme ini berjalan, dengan kecurigaan bahwa ada lebih banyak yang tak terlihat di balik layar. Jika benar ada korupsi di tubuh Pertamina, maka biarlah hukum yang berbicara. Namun, kita juga paham bahwa hukum di negeri ini sering kali bekerja dengan nuansa yang sulit ditebak. Selain itu, transparansi menjadi elemen yang tak kalah penting dalam penyelesaian kasus ini. Sebab tanpa keterbukaan, kita hanya akan melihat episode lain dari drama yang sama: skandal, serangan balik, dan akhirnya, pengalihan isu. Seperti jam pasir yang terus diputar kembali.

Pada akhirnya, kita harus bertanya: seberapa sering kita dikecewakan hingga mulai mempertanyakan apakah perubahan itu nyata? Seberapa dalam kita terjebak dalam siklus ini hingga kehilangan kepercayaan pada harapan itu sendiri? Atau mungkin, inilah saatnya kita berhenti berharap pada jawaban dari atas, dan mulai memahami bahwa sistem yang sakit tidak akan sembuh hanya dengan mengganti aktor di panggungnya.

Ketika ibu-ibu tetangga mulai ribut di pojokan, membahas siapa yang salah dan siapa yang bermain di balik layar, saya tetap di tempat saya, mendengarkan tanpa banyak bicara. Seorang teman datang, menarik kursi, meminta sedikit ruang. "Geser dikit, dong," katanya sambil menawarkan sebungkus kuaci dan sebatang rokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun