Seorang pria paruh baya berdiri di ambang pintu rumah kayunya yang sudah mulai dimakan usia. Udara dingin dari Pegunungan Hokkaido berembus pelan, membawa serta aroma tanah basah setelah hujan. Dia menatap kosong ke hamparan sawah yang membentang luas, mengingat kembali hari-hari ketika desa ini masih ramai dengan suara anak-anak berlarian dan gelak tawa di festival musim panas. Tapi kini, hanya kesunyian yang tersisa. Seperti kebanyakan desa di Jepang, tempat ini perlahan kehilangan penduduknya, ditinggalkan demi kilauan kota besar seperti Tokyo dan Osaka.
Apa yang Sedang Terjadi?
Jepang menghadapi fenomena yang disebut "akiya", yakni rumah-rumah kosong yang terbengkalai akibat penurunan populasi di daerah pedesaan. Data terbaru menunjukkan ada sekitar 9 juta rumah kosong di Jepang, jumlah yang cukup untuk menampung seluruh penduduk Bekasi, Depok, dan Tangerang Selatan. Masalah ini dipicu oleh urbanisasi yang begitu cepat; anak muda Jepang lebih memilih kehidupan di kota besar dengan fasilitas modern dan peluang kerja yang lebih baik, meninggalkan desa yang makin sepi.
Sebagai solusi, pemerintah Jepang menawarkan insentif hingga 500 juta rupiah bagi individu atau keluarga yang bersedia pindah ke desa dan menetap di sana setidaknya selama lima tahun. Program ini bertujuan untuk menghidupkan kembali ekonomi lokal serta menjaga keberlanjutan komunitas pedesaan yang hampir punah.
Siapa yang Bisa Mengikuti Program Ini?
Tidak semua orang bisa serta-merta mengambil insentif ini. Pemerintah Jepang memberlakukan beberapa syarat:
- Harus berasal dari wilayah metropolitan Tokyo atau area perkotaan yang telah memenuhi kriteria tertentu.
- Bersedia pindah ke desa yang ditentukan dan tinggal di sana minimal lima tahun.
- Harus memiliki rencana kontribusi ekonomi, misalnya membuka usaha atau bekerja di sektor yang mendukung komunitas lokal.
- Belum memiliki rumah di daerah tujuan.
Hingga kini, masih belum jelas apakah program ini terbuka bagi warga negara asing. Namun, beberapa laporan menyebutkan bahwa ekspatriat yang telah lama tinggal di Jepang mungkin memiliki peluang untuk mendaftar.
Di Mana Saja Lokasi yang Ditawarkan?
Beberapa daerah yang masuk dalam program ini memiliki daya tarik tersendiri, seperti:
- Takahama, Fukui, Desa nelayan kecil yang terkenal dengan pantai indah dan suasana damai.
- Shimokawa-cho, Hokkaido, Wilayah pegunungan dengan udara bersih dan pemandangan menakjubkan.
- Kamikatsu, Tokushima, Dikenal sebagai desa dengan sistem daur ulang terbaik di Jepang.
Banyak desa yang menawarkan rumah-rumah tradisional Jepang dengan harga murah atau bahkan gratis, namun tentu dengan biaya renovasi yang perlu dipertimbangkan.
Bagaimana Mekanisme Program Ini?
Pelamar yang memenuhi syarat harus mengajukan proposal ke pemerintah setempat, menunjukkan bagaimana mereka akan berkontribusi bagi komunitas pedesaan. Setelah disetujui, mereka akan menerima dana hibah yang dapat digunakan untuk biaya pindah, renovasi rumah, atau modal usaha.
Namun, ada tantangan besar: beradaptasi dengan kehidupan desa Jepang. Meskipun Jepang menawarkan insentif keuangan, budaya kerja yang ketat, lingkungan sosial yang homogen, serta ekspektasi tinggi terhadap pendatang bisa menjadi hambatan bagi orang asing.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jepang?
Sementara Jepang berusaha menghidupkan kembali desanya dengan menawarkan rumah dan uang bagi pendatang, di Indonesia justru terjadi krisis perumahan. Data terbaru menunjukkan bahwa 20 juta keluarga di Indonesia masih belum memiliki rumah, menjadikan penyediaan perumahan publik sebagai pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
Fenomena tagar #KaburAjaDulu yang viral di Indonesia menunjukkan kegelisahan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap kondisi ekonomi, harga properti yang melambung, dan persaingan kerja yang semakin sulit. Jika Jepang mencoba mencegah warganya meninggalkan desa, Indonesia justru menghadapi masalah sebaliknya: bagaimana menciptakan kondisi agar anak muda tetap bisa memiliki rumah dan kehidupan yang layak di negeri sendiri.
Jepang menawarkan satu solusi: insentif finansial untuk menjaga keberlanjutan komunitas. Indonesia bisa belajar dari pendekatan ini, misalnya dengan mempercepat pembangunan perumahan terjangkau, memberikan subsidi bagi generasi muda, atau menciptakan sistem kepemilikan rumah yang lebih mudah diakses.
Haruskah Kita Ikut "Kabur" ke Jepang?
Meskipun gagasan pindah ke desa Jepang dan mendapatkan Rp 500 juta terdengar menarik, keputusan ini bukan sekadar soal uang. Jepang memiliki standar sosial dan budaya yang ketat, yang bisa menjadi tantangan bagi pendatang. Selain itu, program ini lebih ditujukan bagi mereka yang benar-benar ingin berkontribusi pada komunitas pedesaan, bukan hanya sekadar mencari tempat tinggal murah.
Bagi mereka yang frustrasi dengan keadaan di Indonesia, mungkin ini bisa menjadi momen refleksi: haruskah kita benar-benar pergi, atau seharusnya kita berjuang untuk memperbaiki kondisi di rumah sendiri? Jepang berusaha menyelamatkan desa-desa yang sekarat, sementara kita masih menghadapi PR besar dalam menyediakan rumah bagi jutaan warga. Alih-alih hanya melihat ke luar, mungkin saatnya kita menuntut solusi yang lebih nyata di negeri sendiri.
Pada akhirnya, di mana pun kita tinggal, pertanyaannya tetap sama: apakah kita benar-benar memiliki tempat yang bisa disebut rumah, baik secara fisik maupun emosional?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI