Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jepang dan Paradoks Ekonomi: Negeri yang Menolak Tumbang

11 Februari 2025   19:57 Diperbarui: 11 Februari 2025   23:24 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.insidejapantours.com/blog/2017/05/12/top-three-places-to-see-neon-lights-in-tokyo-insidejapan-tours/

Seorang pejalan kaki di Shibuya berhenti sejenak, menunggu lampu hijau di perempatan tersibuk dunia. Di sekelilingnya, layar-layar raksasa menampilkan iklan yang seolah berteriak dalam cahaya neon. Orang-orang bergegas, sebagian dengan jas rapi, sebagian lainnya dengan pakaian kasual yang mencerminkan kebebasan pekerja freelance. Ini adalah gambaran Jepang yang hidup dan dinamis, sebuah ironi bagi negara yang dalam angka-angka statistik sering digambarkan sebagai ekonomi yang stagnan, bahkan sekarat.

Jepang, yang pernah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, telah mengalami stagnasi ekonomi sejak awal 1990-an. Jika kita melihat dari sudut pandang teori ekonomi konvensional, negeri ini seharusnya sudah runtuh. Utang pemerintahnya mencapai lebih dari 250% dari Produk Domestik Bruto (PDB), populasi menua dengan laju yang mengkhawatirkan, dan pertumbuhan ekonominya hampir nol selama beberapa dekade. Namun, Jepang tetap ada. Tidak hanya bertahan, tetapi juga tetap menjadi negara dengan tingkat kesejahteraan tinggi, infrastruktur canggih, dan masyarakat yang relatif stabil.

Keanehan ini menarik perhatian banyak ekonom, yang mencoba mencari penjelasan mengapa Jepang tetap berdiri meskipun melanggar banyak aturan dalam buku teks ekonomi. Salah satu faktor utama adalah bagaimana Jepang memperlakukan utangnya. Berbeda dengan negara-negara lain yang bergantung pada investor asing untuk membiayai defisit mereka, Jepang memiliki utang yang sebagian besar dikuasai oleh warganya sendiri. Bank-bank domestik, dana pensiun, dan rumah tangga Jepang membeli obligasi pemerintah mereka sendiri, menciptakan semacam lingkaran kepercayaan yang sulit ditemui di negara lain. Dengan kata lain, Jepang berutang kepada dirinya sendiri, sehingga risiko krisis kepercayaan seperti yang terjadi di Yunani atau Argentina menjadi lebih kecil.

Bank of Japan (BoJ) juga memainkan peran yang tidak kalah penting. Sejak tahun 1990-an, BoJ telah melakukan berbagai kebijakan moneter eksperimental, termasuk suku bunga nol dan pelonggaran kuantitatif yang agresif. Bank sentral ini secara aktif membeli obligasi pemerintah dalam jumlah besar, yang secara efektif menjaga pasar tetap tenang meskipun rasio utang terhadap PDB Jepang terlihat mengerikan di atas kertas. Para kritikus mungkin akan berkata bahwa ini hanyalah strategi menunda masalah, tetapi sejauh ini, strategi tersebut tetap berhasil.

Namun, bukan hanya kebijakan ekonomi yang membuat Jepang tetap bertahan. Ada faktor sosial dan budaya yang juga berperan besar. Jepang memiliki sistem sosial yang sangat stabil. Masyarakatnya masih sangat disiplin dalam bekerja, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, serta budaya menabung yang kuat. Tidak seperti di banyak negara lain yang konsumsi menjadi motor penggerak utama ekonomi, orang Jepang cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka. Ini memang membuat pertumbuhan ekonomi melambat, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih tahan terhadap guncangan.

Ada juga faktor lain yang lebih mendasar: cara Jepang menghadapi perubahan zaman. Alih-alih menolak kenyataan bahwa populasinya menua dan tenaga kerja semakin berkurang, Jepang justru mencari solusi yang unik. Mereka menjadi pemimpin dalam robotika dan otomatisasi, menciptakan robot-robot yang bukan hanya menggantikan tenaga manusia di pabrik, tetapi juga merawat orang tua di panti jompo. Ini adalah bentuk adaptasi yang tidak hanya berbasis ekonomi, tetapi juga sosial.

Namun, bertahan bukan berarti tanpa tantangan. Jepang menghadapi dilema besar dalam beberapa dekade ke depan. Populasinya terus menurun, dan kebijakan imigrasi yang selama ini sangat ketat mulai diuji oleh kebutuhan tenaga kerja. Pemerintah Jepang perlahan-lahan mulai melonggarkan kebijakan ini, tetapi penerimaan masyarakat terhadap imigrasi masih menjadi perdebatan. Sementara itu, kebijakan ekonomi mereka juga menghadapi batas. Sampai kapan utang yang terus bertambah ini bisa dikelola? Apakah model ekonomi Jepang ini bisa bertahan untuk selamanya, atau hanya menunda krisis besar yang akhirnya akan datang?

Bagi banyak negara lain, kisah Jepang adalah sebuah paradoks sekaligus pelajaran. Jepang membuktikan bahwa teori ekonomi tidak selalu mutlak. Stabilitas sosial, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, serta inovasi dalam menghadapi tantangan adalah faktor yang sering kali lebih penting daripada sekadar angka dalam laporan ekonomi. Namun, Jepang juga menjadi pengingat bahwa tidak ada solusi yang abadi.

Di perempatan Shibuya, lampu hijau menyala. Pejalan kaki kembali bergerak, menjalani rutinitas di negeri yang menolak tumbang, meskipun logika ekonomi mengatakan seharusnya mereka sudah jatuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun