Mohon tunggu...
NoerHasni
NoerHasni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pencari ilmu yang mencoba mengambil bagian dari roda zaman...

"The world is a fickle place, and it's not fair. But if you're getting most of your rewards from you, then you can use that as a kind of compass, and you can be secure in the fact that you're working for the right reason, and you're going in the right direction."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Citayam Fashion Week: Refleksi Kondisi Generasi Bangsa, Hendak Dibawa ke Mana?

27 Juli 2022   11:54 Diperbarui: 29 Juli 2022   03:00 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roy (Citayam), Mami (Tanah Abang), dan Oman (Tanah Abang) memanfaatkan zebra cross untuk ajang unjuk pakaian di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (20/7/2022). (Foto: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

"Citayam Fashion Week ini disejajarkan dengan event internasional yang ada hampir di semua negara maju seperti Paris Fashion Week, Milan Fashion Week dll."

Kasus tembak menembak yang terjadi di antara polisi yang menewaskan salah seorang polisi lainnya mengejutkan bangsa ini.

Tiba-tiba generasi muda SCBD tampil ke panggung fashion jalanan yang seketika mengubah haluan perbincangan di Indonesia. Citayam Fashion Week, sebuah penamaan yang sangat trendi dan “mendunia”.  

Ibarat sebuah medan magnet raksasa yang mengalihkan perhatian bangsa. Momen ini pun menyedot perhatian khalayak, banyak tokoh muncul dengan beragam pendapat, mulai dari public figure hingga Presiden pun bersuara. 

Ini adalah bentuk kreatifitas remaja yang patut diapresiasi dan diberikan ruang berekspresinya, begitulah rat-rata mereka berpendapat. 

Dalam hitungan hari orang-orang mendatangi kawasan trotoar yang dijadikan catwalk unjuk gaya di Sudirman itu, apa yang ingin mereka cari? 

Salah satunya bisa jadi karena ingin menjadi saksi sejarah dan mengambil bagian dari fenomena spontan tersebut. 

Kawasan Sudirman yang semula identik dengan zona kaum elit kota metropolitan seketika dijajaki remaja satelit Jakarta. Berbagai pandangan dan analisa berspekulasi untuk menciptakan pemaknaan atas fenomena social di kalangan remaja satelit Jakarta ini.

Ada yang berpendapat ini hanyalah fenomena spontan yang tidak berakar dan tidak ada figure kuat yang mengkoordinirnya, sehingga fenomena ini diyakini tidak akan bertahan lama.

Ada lagi analisa yang lebih intelek  mengatakan bahwa fenomena CFW ini merupakan fenomena Citayam Fashion Week merupakan bentuk protes yang dilakukan anak-anak muda yang membutuhkan ruang eksistensi. 

Umumnya, kebutuhan tersebut tidak mereka dapatkan di daerah pinggiran. Alhasil, para remaja tanggung itu mencari tempat lain untuk mewadahi kreatifitas mereka. "Kenapa dikemas dalam fesyen? 

Katanya ini merupakan bentuk protes terhadap ruang yang lebih besar, fesyen selama ini cuma jadi para pemilik modal dan sumbernya di Sudirman Central Business District (SCBD), di sana uang triliunan rupiah berputar setiap hari," kata Sosiolog Universitas Nasional. Sungguh mengagumkan pendapat para pakar ini. 

Akan tetapi bagaimana realitas remaja dan pemuda yang nongkrong dan berlenggok disana bak model papan atas? 

Jika kita mendengarkan perbincangan yang dilakukan oleh tokoh iconic Citayam ini di akun social media mereka, mayoritas informasi yang kita dapatkan disana tidak lebih dari membahas persoalan romansa remaja dan persoalan pribadi yang cukup ringan, saya rada sangsi pemikiran mereka bisa sampai sejauh analisa para pakar diatas. Wallahu ‘alam bishowab. 

Namun demikian, munculnya fenomena CFW, yang menyulut semangat generasi muda lainnya di Indonesia untuk melakukan hal yang serupa, di jalan-jalan utama di kota-kota mereka merebak secara sporadic, seharusnya membuka mata dan pikiran kita bahwa kondisi remaja dan pemuda kita saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Pemuda mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembangunan bangsa dan agama. Mereka adalah harapan bangsa yang akan berjuang demi masa depan negara yang lebih baik. 

Mereka juga diwaktu yang sama adalah tumpuan agama yang akan berjuang demi kejayaan Islam dimasa yang akan datang. Kita semua maklum bahwa masa depan bangsa dan agama ditentukan oleh pemuda masa kini, pemuda hari ini adalah pemimpin di masa yang akan datang. 

Bagaimana keadaan bangsa ini 10, 20, 30 tahun yang akan datang? jawabannya ada ditangan pemuda-pemuda hari ini, kalau pemudanya baik.

Maka baiklah bangsa ini, kalau pemudanya rusak maka wallahu A’lam. Prof.Dr.B.J.Habibi mengatakan, “setidaknya ada lima kelemahan yang harus kita hindari, yakni lemah harta, lemah fisik, lemah ilmu, lemah semangat hidup dan yang sangat ditakutkan adalah lemah akhlak”. 

Jika lima kelemahan ini melekat pada generasi kita, saya yakin mereka bukan sebagai pelopor pembangunan tapi akan menjadi virus pembangunan, penghambat pembangunan, bahkan penghancur pembangunan.

Bisa dikatakan bahwa fenomena Citayam ini terjadi dan hadir ranah publik salah satunya karena social media. Dunia social media telah menjadi kiblat bagi generasi zaman ini untuk bermimpi tentang masa depan. 

Paparan teknologi komunikasi ini tidak mengenal usia, bahkan sejak balita, anak-anak calon penerus bangsa sudah sedemikian nyaman dan senang bersama aneka hiburan yang ada di genggaman. 

Flexing ala kaum selebritis membangkitkan syahwat hedonis bahkan sampai ke kelompok masyarakat ekonomi paling ‘tipis’ sekalipun. Dan munculnya kelompok ramaja dan pemuda di SCBD ini bisa kita katakan sebagai refeleksi kondisi social generasi bangsa kita saat ini. 

Kita sangat mensyukuri kemajuan teknologi dewasa ini karena banyak yang bisa diperbuat dengan teknologi tingkat tinggi yg kita miliki, dan sejatinya kita harus kuasai dan kendalikan. Akan tetapi ketika kemajuan teknologi tidak diantisipasi dengan kesiapan diri. 

Berbagai kemudahan akan membuat kita lengah dan lalai bahkan memangkas visi diri. Rumah-rumah suci kita pindah ke mall-mall dan supermarket. Ibadah rutinnya diganti aerobik dan goyang sana sini. 

Thawafnya mengelilingi makanan, aneka hiburan, maupun pakaian menawan yang ditawarkan dimana-mana. 

Zikirnya berganti karaoke dan update aneka status dan konten di sosial media, infaknya berpindah dari kotak amal ke meja judi. Tongkrongannya pindah haluan dari Masjid dan mushollah ke pinggiran jalan hingga hotel vip kelas tinggi.

Obrolannya seputar tokoh sinetron penuh khayalan dan aneka fantasi. Begitulah bila kemajuan teknologi tidak diantisipasi dengan kesiapan diri. Kenapa saya disini berbicara tentang teknologi? 

Karena saya melihat salah satu factor yang memicu ide CFW ini adalah kesempatan popular yang ditawarkan oleh berbagai platform social media, teknologi informasi yang luar biasa saat ini. Kemajuan teknologi telah melibatkan semua lapisan masyarakat di seluruh penjuru untuk terlibat dan saling berinteraksi. 

Dengan progress pengembangan teknologi internet yang semakin luas dan mudah di akses, hal ini menjadi daya tarik yang sangat memukau, sehingga banyak orang yang terjebak di tempat yang “enak” sehingga lupa dimana berpijak. 

Terjerumus dalam kemanjaan yang berkelanjutan sehingga lahirlah pribadi rentan yang tak tahan menepis godaan, tak kokoh menghadapi goncangan, dan tak mampu menyikapi keadaan.

Jika banyak yang memandang fenomena Citayam ini sebagai sebuah kreatifitas atau seni mengekspresikan diri. Alangkah bagus nilainya seni yang sebenarnya seni. 

Akan tetapi, alangkah celakanya kesenian itu apabila ia membawa kepada kerusakan bathin dan keimanan. Apalagi kesenian yang genap tidak, ganjil tak tentu alias buah karya yang tidak berharga dalam masyarakat seperti yang pernah dikatakan oleh bapak M. Natsir, salah seorang tokoh pendiri bangsa ini. 

Dikatakan bahwa CFW ini disejajarkan dengan event internasional yang ada hampir di semua negara maju seperti Paris Fashion Week, Milan Fashion Week, Gangnam Fashion Week, dan masih banyak lagi. 

Bahkan pemerhati dari Jepang mengatakan bahwa trend Harajuku di Jepang juga bermula sama dengan yang di Citayam ini. 

Maka disini saya sependapat dengan pandangan bapak M. Natsir terkait menciptakan kiblat untuk melahirkan sebuah nilai bagi bangsa ini. 

Silakan mencari inspirasi ke luar negeri karena kebudayaan itu tidak monopoli suatu bangsa, dan tidak mungkin ditutup rapat supaya tidak keluar dari suatu kelompok pendukung. Akan tetapi ibarat sumber mata air, tidak semua sumber-sumber itu mengeluarkan air yang jernih, yang memberi manfaat kepada masyarakat. 

Carilah sumber yang lebih dekat dan lebih sesuai dengan falsafah hidup kita orang Indonesia. Jika kita mengambil inspirasi dari kondisi kebudayaan yang jauh dari nilai-nilai yang kita anut tanpa disaring terlebih dahulu. Hal ini akan bisa menyebabkan bahaya yang sangat besar bagi generasi kita.

Jika di zaman penjajahan, generasi muda berhasil menyatukan kekuatan untuk sebuah kemerdekaan, bukan berarti kemerdekaan dari penjajahan fisik 77 tahun yang silam itu sudah paripurna. 

Namun, ada sebuah perjuangan besar dan panjang yang harus tetap diperjuangkan oleh bangsa ini dan ujung tombak perjuangan itu ada pada generasi muda. 

Generasi kedepan semestinya memiliki kekhasan, spesifikasi, dan keunggulan untuk menggerakan gerbong masa depan peradaban dengan energi ekstra, ide-ide besar dan cerdas. Semuanya ini bisa dilahirkan dari dalam diri kita masing-masing. 

Namun, Jika potret generasi muda kita hari ini yang sebagian besar terefleksi melalui kelompok Citayam, yang putus sekolah, hanya peduli dengan eksistensi diri dan keinginan untuk hidup enak tanpa usaha yang kuat. Mengabaikan norma, nilai, etika budaya bangsa apalagi rasa malu. 

Demi pujian, likes, comment dan share di media sosial hilang semuanya. Demi rating mereka sanggup berbuat apapun. Kira-kira masa depan seperti apa yang sedang dipersiapkan untuk melanjutkan estafet perjuangan pembangunan bangsa ini? 

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pintu kehancuran masa depan generasi telah terbuka lebar, untuk itu penting bagi kita menyadari betapa pentingnya membangun fondasi yang kuat terhadap generasi umat ini. 

Fondasi yang kita bangun akan menjadi gambaran bangunan seperti apa yang bakal tegak diatasnya. Karenanya, lompatan besar untuk menang bisa menjadi bencana besar bila tidak diikuti kesiapan mengelola masalah-masalah internal.

Di era teknologi digital dewasa ini, jebakan yang ada dihadapan kita bukan pada kemiskinan yang mendera derita lara namun peluang kekayaan sumber daya yang menganga apabila tidak dikelola dengan akhlak mulia. Bukan kemajuan yang kita takuti, namun ketidaksiapan diri dalam mengelola fasilitas teknologi yang harus kita waspadai. 

Banyak orang menutupi kelemahan pikiran dan wawasan dengan semangat meledak-ledak sehingga orang lain terhipnotis dan terprovokasi oleh paradigma dangkal dan menyesatkan. 

Kita tidak boleh menutup mata atas fakta bahwa ajang anak muda belia yang berlansung di Citayam tersebut tidak bisa menutupi kondisi remaja putus sekolah atau malas sekolah karena memandang bersekolah itu melelahkan dan tidak menghasilkan uang. 

Mereka berpikir lebih mending membuat konten karena bisa menghasilkan uang. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, popularitas melejit, uang pun menghampiri. Sekali lagi, semua demi eksistensi dan pundi-pundi.

Terus apakah masih ada ruang dalam pemikiran mereka untuk melihat persoalan bangsa yang sepuluh atau dua puluh tahun mendatang musti mereka kemasi? 

Serangan pemikiran dan gaya hidup atau life style tengah berhasil mempengaruhi kehidupan bangsa kita di segala usia, termasuk generasi muda. 

Kita menyadari bahwa Ummat yang lemah dari dalam, mustahil bisa berhasil menghadapi serangan bahaya dari luar. 

Salah satu tangkapan kamera yang diabadikan pada momen Citayam Fashion Week minggu lalu adalah munculnya pasangan LGBT yang membuat masyarakat mengeluarkan komentar pedas. 

Karena aktivitas ini dilakukan di ruang terbuka dan sangat terbuka untuk semua kalangan, tentu saja kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh kelompok muda kaum pelangi. 

Walhasil, semakin yakinlah kita bahwa agenda semacam ini hanya akan memberikan catatan kemudhoratan yang sangat buruk dalam masyarakat beragama di negara kita. 

Saat ini gaya hidup para pecinta sesama jenis sudah mendapat tempat dibelahan benua Eropa dan Amerika. Ini sebuah ancaman serius bagi negara kita.

Harus kita sadari bahwa saat ini kita sedang berebut dengan kebathilan. Kebathilan juga menyasar anak-anak muda kita. Kalau yang haq diam saja, maka anak-anak muda akan diambil oleh kebathilan. 

Karenanya mari kita berlelah-lelah karena yang bathil pun siap berlelah-lelah. Karenanya mari kita keluarkan harta kita untuk mendidik mereka karena yang bathil pun telah mengucurkan dana yang tidak kecil untuk menghancurkan generasi muda kita. 

Kebenaran yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kebathilan yang terorganisir. Akan tetapi kebathilan mereka yang rapi sesungguhnya lemah, seperti rumah laba-laba, kal baitil 'ankabut. 

Akan tetapi, bila hanya dengan rumah laba-laba saja kita masih terjerat, lalu seberapakah kualitas kita? Apakah sekapasitas nyamuk? Lalat, atau serangga kecil yang mudah sekali terjerat? Allahu 'alam bishowab. 

Akan tetapi, masalah kita bukanlah kekuatan dan kerapian orang-orang yang memusuhi kita, NAMUN ketangguhan kita untuk tegak di atas pijakan kaki sendiri. 

Ibaratnya, bila ada seribu orang yang membangun dan satu orang yang menghancurkan bangunan itu, itu pun sudah cukup untuk menghancurkannya. Bagaimana bila yang membangun itu satu orang dan yang menghancurkannya seribu orang? Tentu luluh lantaklah bangunan tersebut.

Bagi orang tua hari ini, peran dan fungsinya dalam mendidik dan mengawal pembangunan karakter mental generasi muda itu adalah sebuah keniscayaan. 

Berikan pendidikan dan penanaman nilai pada diri anak yang berorientasi kepada umat bukan sekedar untuk kemaslahatan dirinya sendiri, seperti kesekolah yang rajin, dapat nilai bagus biar nanti bisa dapat kerja. 

Tapi tanamkan kedalam diri anak bahwa ada amanah perjuangan yang diembannya untuk melanjutkan kejayaan bangsa dan masyarakatnya. Bahwa ilmu yang dia peroleh disekolah itu harus membawa kesejahteraan social. 

Untuk itu setidaknya mari kita olah generasi muda kita, olah rasa dalam dada mereka agar iman melekat, olah rasio mereka agar ilmu meningkat, olah raga mereka agar badan sehat, olah usaha mereka agar ekonomi kuat, dan olah kinerja mereka agar produktifitas meningkat. 

Kalau lima potensi ini sudah melekat pada generasi muda kita, saya yakin generasi muda kita, akan menjadi generasi unggul pelanjut estafet perjuangan yang akan meraih prestasi gemilang dimasa yang akan datang. 

Dengan demikian  kita tidak akan mengenal istilah pemuda penganggur, pemuda mejeng nyari mojang, pemuda nangkring nongkrong di sudut jalan kota. 

Tetapi pemuda yang diinginkan oleh bangsa dan agamanya adalah pemuda-pemuda yang agresif, inovatif, progresif, dan produktif. 

Orang Barat mengatakan: “Many great man started from the newspaper boys”. Banyak orang besar sukses mengawali karirnya hanya dengan berjualan koran, bukan jualan korannya, tetapi etos kerjanya yang harus kita teladani.  Wallahu’alam bishowab.

Penulis adalah aktivis pemerhati anak dan keuarga pada Aliansi Perempuan Peduli Indonesia DPW SUMBAR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun