Di atas itu semua, sejujurnya bukan putus kuliah yang paling aku takutkan. Bukan itu. Yang paling kutakutkan adalah mendengar kabar Ibu berpulang. Aku tidak siap. Sampai kapan pun sepertinya aku tidak akan siap. Tidak! Sedih rasanya mendengar ucapan itu keluar dari mulut Ibu sendiri.
Aku pun sadar, gelar sarjana ekonomi itu diminati banyak pemberi kerja. Jika sampai terjadi apa-apa, biayanya tidak semahal sekolah kedokteran. Lebih aman. Sambil kuliah, aku pun bisa bekerja paruh waktu untuk mengais penghasilan tambahan. Karena diktat ekonomi sudah pasti tidak setebal modul kedokteran.
Pengorbanan Ibu
Gagasan kedua itulah yang menyeret pikiranku kembali ke masa lalu. Menembus ruang dan waktu. Hingga tiba pada masa ketika pertama kalinya aku merasa hidup di dunia. Masa Taman Kanak-kanak.
Aku memang jarang bertemu Ibu, lantaran ia mesti bekerja sejak pagi hingga malam hari. Tapi jangan salah. Kondisi itu tidak pernah menghalangi Ibu dalam mencurahkan kasih sayangnya kepada kami. Kepadaku dan kedua kakakku.
Aku ingat betul. Tepat pukul 12 siang, Ibu pasti meneleponku dari kantornya. Tidak pernah sekali pun alpa. Ibu selalu bertanya tentang sekolahku, makan apa aku siang ini, hingga membacakan beberapa artikel dari dua tabloid favoritku dulu: Bola dan Fantasi.
Saat tiba di rumah pada malam harinya, Ibu berganti jubah menjadi seorang guru. Menuntunku salat lima waktu. Mengajarkanku menulis dan membaca. Melatihku menyampul buku. Hingga memeriksa apakah PR-ku sudah tuntas dikerjakan. Selama itu, aku tidak pernah mendengar Ibu mengeluh barang sekali pun.
Saban akhir pekan, Ibu selalu mengajakku pergi ke pasar. Naik sepeda. Ibu menyetir, aku membonceng. Diajarinya aku cara membedakan ikan tuna dengan ikan bandeng. Dibimbingnya aku kiat mencirikan sayur bayam dan daun singkong. Hingga dikenalinya aku dengan kudapan favoritku hingga kini: bubur ayam.
Boleh dibilang, Ibu sukses menjalani dua peran. Wanita karier dan Ibu rumah tangga. Mendulang sukses di kantor, menabur cinta di ladang keluarga. Dari sanalah aku tersadar. Ibu adalah sekolah pertamaku, dan sosok pertama yang mengajarkanku pentingnya memiliki sikap rela berkorban.
Setiap orang dewasa pasti paham, kehidupan itu seringkali jauh dari kata ideal. Tidak semua yang kita inginkan bisa dicapai. Andai bisa memilih, Ibu pasti memilih untuk mencurahkan sepenuh waktunya untuk buah hatinya. Mengurusi, membimbing, dan menuntun anak-anaknya hingga dewasa kelak.