Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lentera Pendidikanku Bernama Ibu

6 Desember 2020   20:29 Diperbarui: 6 Desember 2020   20:45 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu tengah menggendongku pada acara perayaan ulang tahun pertamaku. Sumber: dokumentasi pribadi.

Cita-citaku menjadi dokter bukan barang baru bagi Ibu. Sama sekali tidak. Sejak kecil, Ibu tahu persis bahwa aku ingin mengenakan jas putih ketika dewasa kelak. Sampai-sampai aku berhasil lulus seleksi kompetisi Dokter Kecil tingkat kecamatan saat duduk di bangku Sekolah Dasar dulu.

Hanya saja, roda kehidupan kami berputar seratus delapan puluh derajat tatkala aku menduduki bangku SMA. Bapak terserang stroke. Ibu yang kala itu menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga mesti mengeluarkan banyak uang untuk menebus biaya pengobatan Bapak.

Bahkan hingga Bapak berpulang beberapa tahun setelahnya, Ibu tetap setia merawat Bapak sembari bekerja mencari nafkah untuk kami sekeluarga. Ibu baktikan tenaga dan pikirannya demi suami dan anak-anaknya.

Kala itu, aku bisa saja berpura-pura tidak peduli dengan keadaan dan tetap memilih sekolah kedokteran. Ibu pun tidak pernah melarang. Namun, di titik inilah kedewasaan dan karakterku benar-benar diuji. Apakah aku rela mengorbankan cita-cita demi meringankan beban orangtua?

Jujur saja, butuh tiga hari tiga malam sebelum aku menentukan pilihan. Kalau saja pilihan itu dijejali kepadaku sekarang juga, maka sudah pasti aku bakal melontarkan jawabannya dalam tempo tiga detik saja.

Tapi, maaf. Saat itu aku masih berusia remaja. Baru 17 tahun. Teenager, istilah kerennya. Usia, yang menurut para psikolog, sangat lekat dengan isu ketidakstabilan emosi. Meminjam istilah kekinian yang dipopulerkan oleh generasi milenial: sedang labil-labilnya.

Adu Pedang Dua Gagasan


Sepanjang tiga hari berikutnya, pikiranku berkecamuk. Dalam diam aku berpikir. Lalu, perang batin pun dimulai. Seribu pikiran beradu, patah-mematahkan, jatuh-menjatuhkan. Hingga akhirnya tersisa dua gagasan yang bertarung di babak final.

Gagasan pertama. Aku tetap mengambil sekolah kedokteran dengan biaya selangit, sambil berharap di tengah jalan dapat beasiswa atau bekerja paruh waktu. Alasanku sederhana: apa yang kuminta kepada Ibu adalah sesuatu yang baik untukku. Untuk masa depanku.

Aku tidak meminta dibelikan Playstation 3, tidak. Aku pun tidak berharap dihadiahi sepeda motor 250 cc, tidak. Yang kuminta hanyalah jalan menggapai mimpi. Yang dengan mimpi itu, aku bisa mengobati orang sakit dan menjadi garda terdepan kesehatan bangsa. Itu saja.

Akan tetapi, gagasan itu memang berisiko tinggi. Bisa jadi Ibu bakal bersusah-payah mencari pinjaman ke sana kemari gara-gara itu. Betapa tidak? Bapak perlu biaya pengobatan, aku butuh biaya pendidikan. Pasti Ibu pening bukan kepalang.

O ya, satu hal lagi. Jika apa yang Ibu takutkan terjadi—Ibu berpulang saat aku sedang asyik-asyiknya kuliah kedokteran—maka tidak ada satu pun anggota keluarga kami yang sanggup meneruskan biaya pendidikanku. Aku bakal putus kuliah dan gagal jadi dokter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun