Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Pendidik - ... n i t a ...

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merawat Kearifan Lokal: Pembelajaran Hidup dari Hadfana Firdaus

15 Januari 2022   06:30 Diperbarui: 17 Januari 2022   11:02 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sesajen.| Sumber: SHUTTERSTOCK/CHAYATA via Kompas.com

Indonesia negara yang sangat kaya budaya. Banyak sekali tradisi budaya di negara kita ini yang menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).

Salah satu kearifan lokal di seputar Gunung Bromo, Gunung Merapi, dan banyak gunung atau tempat-tempat 'istimewa' lain berwujud penghormatan pada alam semesta via persembahan berbagai bentuk sesajen, upacara-upacara adat yang intinya ikut serta aktif dalam merawat lingkungan sekitar gunung-gunung tersebut dan menghaturkan rasa syukur pada Tuhan Sang Pencipta.

Kita pun mengenal ragam etika, budi pekerti, dan rumpun-rumpun nilai sosial dalam masyarakat, yang juga memberikan keseimbangan di tengah geliat kemajuan teknologi saat ini. 

Saya berani mengatakan, (terkadang) modernitas menjadi salah satu alasan munculnya dinamika-dinamika baru terhadap nilai-nilai sosial yang kerap terjadi di sekitar kita.

Kejadian menendang sesajen di Lumajang beberapa waktu lalu menjadi sorotan. Seorang pemuda asal Dusun Dasan Tereng, Tirtanadi Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur (yang konon menurut kabar) sedang melakukan studi di Yogyakarta ini melakukan penendangan dan pembuangan sesajen yang dipersembahkan warga sekitar Gunung Semeru (dalam rangka upacara syukur, merawat alam, dan meminta perlindungan pada Sang Pencipta).

Pemuda asal Lombok Timur tersebut saat ini sudah berhasil diamankan pihak yang berwajib karena perilakunya tersebut. Peristiwa yang dilakukan oleh Hadfana Firdaus itu akhirnya memberikan sebuah penegasan, bahwa benar terjadi dinamika atas nilai-nilai sosial yang tengah berlaku dalam masyarakat kita.

Kultur asli Indonesia erat sekali dengan penghormatan terhadap budaya leluhur. Ritual pemujaan tentu saja bukan barang baru, bahkan cenderung sudah menjadi sebuah gaya hidup bagi beberapa lapisan masyarakat tertentu di daerah yang (masih) sangat menjunjung tinggi penghargaan terhadap alam semesta di tengah hempasan modernitas saat ini.

Sebut saja 'tradisi rasulan', dimana masyarakat daerah Indramayu, Jawa Barat memberikan penghargaan terhadap leluhur dengan menyelenggarakan ritual selamatan dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Khalik dengan mempersembahkan sesaji dan membersihkan lingkungan.

Selanjutnya ada upacara 'Yadnya Kasada', yang dilakukan oleh masyarakat umat Hindu Tengger sebagai sebuah ritual ungkapan rasa syukur kepada Tuhan agar dijauhkan dari malapetaka dengan melarung beberapa hasil bumi yang dibawa oleh masyarakat tersebut ke kawah Gunung Bromo.

Nah, dua fenomena tradisi tersebut merupakan representasi dari ungkapan syukur umat manusia terhadap Tuhan sebagai Pribadi yang melindungi, mengayomi, dan memberikan kehidupan. 

Adalah wajar ketika manusia memberikan pemujaan dan permohonan kepada Tuhan melalui upacara-upacara pemberian sesajen semacam ini untuk meminta keselamatan atas kehidupannya.

Konteks masyarakat Lumajang memberikan sesajen tersebut masih erat kaitannya dengan meletusnya Gunung Semeru tempo hari. Memberikan sebuah penghargaan, penghormatan, dan pengharapan kepada Tuhan merupakan bentuk kerendahan hati. Mereka membutuhkan 'Tangan Kuat' yang diharapkan bisa memberikan proteksi terhadap kehidupan mereka.

Hal ini melukiskan sebuah upaya manusia untuk 'menundukkan diri' pada Sang Pencipta, pemilik otoritas tertinggi kehidupan. 

Memohon keselamatan pada Pemilik Otoritas tertinggi kehidupan tersebut merupakan bentuk kesejatian manusia yang esensinya tidak memiliki kuasa apapun terhadap hidup itu sendiri dan memerlukan campur tangan dari Sang Empunya Hidup secara mutlak.

Kejadian menendang dan membuang sesajen tersebut merupakan perilaku sebaliknya, menurut pendapat saya pribadi. Sebuah perilaku ceroboh, dan kurang mawas diri terhadap sebuah fenomena penghargaan terhadap Tuhan sebagai oknum tertinggi dalam kehidupan.

Di sisi lain, masyarakat di sekitar Gunung Semeru itu juga turut serta aktif dalam merawat alam semesta melalui tradisi-tradisi yang mereka usung. 

Pendapat bahwa merawat alam yang ditinggali oleh mereka merupakan 'harga mati' sehingga terjadi 'simbiosis mutualisme' antara manusia dan alam. 

Tentu ini memberikan oase dan sebuah harapan bagi kelangsungan kehidupan mereka, dimana alam merupakan tempat 'bersandar' atas seluruh kehidupan.

Tradisi yang dilakukan masyarakat sekitar Gunung Semeru ini pada dasarnya adalah upaya menghargai, ungkapan syukur, dan memohon perlindungan terhadap Tuhan bagi kehidupan. 

Bila ada perilaku yang muncul sebaliknya, maka hal ini membawa sebuah kesadaran bagi kita, adalah penting untuk memberi edukasi bagi masyarakat agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, agar kita semakin dapat menghargai alam semesta beserta 'paket-paket isinya' sebagai sebuah tempat yang kepadanya kita menggantungkan hidup.

Kesombongan hanya akan memberikan penyesalan di ujung cerita. Adalah bijak ketika kita juga merendahkan hati dalam menghargai sudut pandang dan perilaku sesama. 

Bila tidak setuju itu sah-sah saja, tetapi tetap menghargai perbedaan pandangan itu juga menjadi poin yang penting, dengan tidak melakukan perilaku yang konyol.

Bangsa ini sarat dengan banyak filosofi, tradisi, ritual yang erat kaitannya dengan upaya penghargaan, penghormatan terhadap leluhur. Mungkin bisa saja kita tidak sepakat dengan hal ini, tentu itu bisa dibenarkan, tetapi hidup berdampingan dengan perbedaan juga salah satu esensi hidup yang harus diterima. 

Menjadi arogan terhadap hal itu sama saja bunuh diri. Berharap episode kisah dari Hadfana menjadi sebuah pembelajaran yang mencerahkan terhadap bagaimana kita memandang nilai-nilai kearifan lokal yang dijunjung tinggi dalam masyarakat kita.

Satu lagi, tradisi itu juga sebagai upaya merawat lingkungan yang menghidupi kita. Ketika kita tinggal di alam semesta ini, kewajiban merawat alam ini menjadi satu paket yang tidak bisa ditawar. 

Oh ya, sebelum lupa, bangsa ini bangsa besar, keberagaman menjadi sebuah kekayaan yang membanggakan (bila memandangnya dari sudut pandang positif). Sejatinya perbedaan, keragaman dipandang secara utuh sebagai warna-warni jati diri bangsa. Menerima hal ini akan lebih melegakan.

Menghargai kearifan lokal sama artinya dengan upaya menghargai keberadaan diri dalam alam semesta ini.

Semoga bermanfaat.

Referensi: satu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun