Sorot mata Andry menyedihkan. Ia ingin mengenang hari pernikahannya dengan Ana. Ketika ia dengan lancar mengucapkan akad nikah namun begitu semua hadirin mengatakan sah dihatinya masih saja ada Nia, perempuan itu belum pindah.
"ambil hukuman itu dengan baik, peluk erat-erat agar kau lekas pulih. Sejatinya, jika kau terus belajar mencintai istrimu, terus setia padanya, terutama kau harus berusaha keras menyelesaikan sisa-sisa kenangan bersamaku lalu menaruhnya di peti masa lalu, tentu kau terbebas dari hukuman itu."
"inilah yang tidak pernah kudengar dari Ana, ia tidak sepintar kau dalam mendukungku."
"Kau gila, membandingkan aku dengan wanitamu adalah fatal. Aku dan dia memang sama-sama wanita namun semua manusia itu unik, selalu punya kelebihan yang harus dicintai"
"lantas, kenapa kau menemuiku?"
"Aku juga sedang dihukum Tuhan. Suamiku, lelaki itu masih menyimpan bayangan mantan dalam kepalanya. Ia bahkan sering mengigau nama mantannya, ia seperti mendengar suara-suara mereka"
Nia tersedu, Andry berniat merangkulnya. Nia menampikkan tangan Andry, bagaimanapun Nia tidak ingin mengkhianati suaminya. Ia teramat sangat mencintai suaminya.
Ana gelisah, ia merasa ada yang tidak beres. Diletakkannya sekop yang sejak tadi dipegang lalu mengganti baju, ia akan menyusul Andry. Sepanjang jalan penjual jagung kelihatan mengipasi jagung yang dibakar, bibir pantai tampak menggoda untuk dipakai berenang. Kilo 5 tidak terlalu luas, jadi mudah saja menjumpai orang meski tidak janjian.
"Om..." Sapa Ana takut-takut, Andry kaget
"Silahkan duduk Ana. Aku Nia" perempuan itu menjulurkan tangan, berkenalan.
Ana terkejut, ia tidak menyangka perempuan itu seberani itu. Kikuk, Ana menerima uluran tangan itu. Ana, meski baru kali ini bertemu dengan perempuan itu. Ia sudah lama mendengar cerita-cerita perempuan itu dari Inang, iparnya. Umu, kadang-kadang suka salah sebut memanggil nama Ana dengan sebutan Nia, diawal mereka menikah.