Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cahaya yang Terus Menyala, Mengamati Keberadaan Lansia di Yogyakarta

12 November 2018   23:51 Diperbarui: 13 November 2018   00:10 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berdasarkan berita yang dikutip dari www.harianmerapi.com memaparkan bahwa:

Jumlah warga lanjut usia (lansia) di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan dalam beberapa tahun ini. Diperkirakan jumlah lansia akan mencapai cukup tinggi pada tahun 2020. Peningkatan jumlah itu harus diiringi dengan pemenuhan fasilitas dan layanan untuk mewujudkan Yogya sebagai kota ramah lansia.

Ketua Komisi Daerah Lansia Kota Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun mengutarakan, jumlah lansia di Kota Yogya 7 tahun lalu masih sekitar 9 persen dari jumlah penduduk di kota. Namun kini jumlahnya mencapai 13,94 persen dari jumlah penduduk kota. Jumlah itu sekaligus menjadikan Kota Yogya dengan presentasi jumlah lansia tertinggi.

"Perkiraan angka nasional pada tahun 2025 persentase jumlah lansia bisa mencapai 20 persen. Tapi untuk Kota Yogya melihat tren peningkatan lansia, pada tahun 2020 sudah bisa mencapai 20 persen. 

Ini menjadi 'PR' kita bersama karena Yogya adalah kota inklusi yang juga harus ramah lansia," kata Tri Kirana dalam workshop Yogya menuju Ramah Lansia di Balaikota, Senin (23/7).

Dia menyampaikan Yogya juga menjadi kota dengan usia harapan hidup tertinggi di Indonesia yakni 76 tahun untuk perempuan dan 74 tahun bagi laki-laki. Angka harapan hidup yang tinggi tersebut mempengaruhi jumlah lansia di Yogya cukup tinggi.

Selama satu tahun tinggal di Yogyakarta, perjalanan yang ditempuh sehari-hari dengan naik kendaraan umum dan berjalan kaki, membuat saya menyadari dan mengamati bahwa ada banyak sekali lansia di Yogyakarta. 

Bila sesekali naik Transjog, saya juga sering mendapati ada si mbah-mbah yang tetap sigep atau kuat untuk membawa diri dan barang-barang bawaan yang tidak ringan, seperti bakul, kain gendong yang berisi setumpuk barang-barang tertentu yang dapat diidentifikasi sebagai barang kulakan atau sesuatu yang akan di jual di pasar tradisional.

Bila mendapatkan kesempatan berjalan-jalan ke wilayah Gunung Kidul, saya tidak hanya mendapatkan pemandangan alam yang menakjubkan atau sekedar swafoto yang instagram-able, saya akan banyak mendapati berlipat si mbah-mbah baik laki-laki maupun perempuan berjalan di tepi jalan dengan atau tanpa alas kaki, sembari memegang pacul, arit, rumput, bakul, bibit, dan semacamnya yang dibawa diantara cuaca Yogyakarta yang sedang musim kering lumayan lama. mereka akan menuju kebun, sawah, atau menanam sesuatu di balik hamparan bukit batu. Saya berlipat ganda merasa takjub dengan pemandangan alam pun manusia-manusia kuat yang ada di hadapan saya. Tujuan

Di Sunday Morning, yakni pasar mingguan yang berada di antara UNY dan UGM, saya juga tidak akan kehilangan pemandangan orang-orang tua yang tetap produktif melakukan sesuatu; misalnya berjualan sisir, makanan, mengumpulkan barang-barang bekas, atau ada juga yang menjadi peminta-minta. 

Tidak peduli apapun yang sedang dilakukannya, bagi saya pribadi, kemampuan orang tua ataupun lansia dalam memapah dan mengontrol diri sendiri merupakan upaya yang membuat takjub, meski kadang mereka tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukan hal yang lebih baik---atau lebih produktif dan memiliki nilai material yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. 

Namun, berkali-kali saya juga mendapati orang-orang baik masih eksis dan nyata adanya, membantu para lansia ini dengan cara membeli dan menggunakan jasa yang ditawarkan. Ini sangat adil, sebab kepuasan sebagai manusia baik berusia muda ataupun lansia adalah; orang-orang mempercayai karya kita. 

Sebab bila hanya sekedar menunggu belas kasih, tentu si mbah-mbah ini hanya menunggu bantuan pemerintah atau lembaga sosial yang tidak dapat ditebak kehadirannya. Sehingga yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri adalah dengan terus bergerak, mencari, berupaya, dan berusaha dengan berbagai cara.

Pada suatu hari yang terik, saya pernah kesiangan berangkat ke Sunday Morning. Saya melihat seorang si Mbah Lanang yang kegirangan karena mendapatkan banyak sampah botol minuman yang telah disusun rapi di karung. Saking baerlimpahnya, karung yang padat tersebut tidak dapat diseret atau ditarik seperti biasanya, maka si Mbah Lanang meletakan di atas kepala.

Hari itu matahari sangat terik, sampai-sampai saya juga merasa seperti tidak sanggup pulang dengan jalan kaki. Kebetulan setiap minggu, saya seringkali berpapasan dengan si Mbah Lanang, tidak banyak membantu, hanya senang dan mendoakan kebaikan untuknya setiap kali mendapatkan kesempatan berjumpa di hari Minggu. 

Kembali ke soal si Mbah Lanang, dengan karung di atas kepala dia berjalan tergopoh-gopoh, berjalan hingga kemudian semua orang dikagetkan dengan pemandangan di Mbah Lanang ambruk di jalan. Kulit wajahnya yang keriput, sontak mengeluarkan darah segar ketika bergesekan dengan aspal panas.

 Beberapa orang sigap membantu, membawanya ke tepi jalan yang beratap sehingga dia bisa bersandar. Beberapa memberi bantuan uang, makanan, minuman, dan ternyata si Mbah memang merasa sangat haus dan pelan-pelan berbisik : "Lapar". Saya tahu, hari itu adalah berkat baginya, sehingga berangkat sejak pagi sampai lupa  sarapan.

Dari bisik-bisik para pedagang menyebutkan kalau si Mbah Lanang masih memiliki keluarga tapi kenapa dibiarkan mengumpulkan sampah botol plastik. Mungkin yang menggugatnya merasa sangat iba dengan kondisi fisik si Mbah Lanang yang telah renta.

Tetapi satu hal yang tidak banyak dipahami adalah orang-orang yang berusia senja terkadang tidak hanya membutuhkan uang ketika melakukan sesuatu, tetapi aktivitas yang menuntut tubuh bergerak, bertemu dan berinteraksi orang-orang, menjumpai teman-teman lama, dan memiliki uang yang dapat dibagikan untuk cucu tanpa harus dianggap lemah dan bergantung kepada anak-anaknya, merupakan kebutuhan psikis yang harus dipahami dan dilekatkan kepada orang-orang tua. Sebab, tidak ada manusia yang ingin terlihat lemah di hadapan manusia yang lain.

Di Prawirotaman saya pernah menyapa seorang Mbah Puteri yang berjualan di sekitar pasar tradisional, orang-orang tua memang senang sekali bertutur tentang setengah pengalaman hidupnya yang mengendap di dalam kepala dan ujung-ujung perasaan. Kepada saya, dia berkisah bahwa telah berpuluh-puluh tahun berjualan kelapa yang diparut tangan.

Di antara revolusi teknologi yang sangat pesat, tentu saya tidak dapat menerima pandangan sebab segala sesuatu telah menjadi praktis karena teknologi.

Tetapi kemudian saya mendapatkan pelajaran dari si Mbah Puteri bahwa kerjanya adalah rutinitas yang mengandung banyak sekali mutualisme; bergerak, olahraga, interaksi dengan pelanggan loyal, bercerita, berbagi senyuman, berbagi makanan, berbagi keluh-kesah saat musim hujan atau sepi pelanggan, tapi tidak ada keluhan, semua tetap disyukuri sebagai berkat yang tiada habis dengan senyum penuh yang setia di ujung bibirnya. Proses hidup yang bertahap menyeimbangkan dirinya dan membawa si mbah-mbah menjadi sosok yang semestinya dihormati, begitu juga setiap pilihannya yang perlu didukung dan dipahami. Seperti cahaya yang terus menyala, kuat.

Saya menjadi pesimis terhadap cara pandang saya sendiri yang kerap kali menganggap bahwa orang-orang tua ini "haus' terhadap harta atau hal-hal material sehingga tetap ngoyo melampaui kerentaan dan daya tahan tubuh yang menurun. Jika mengingat ini semua, saya sebagai milenial tentu merasa malu ketika bersunggut-sunggut menghadapi laporan atau tugas yang malas untuk dikerjakan, sementara semua akses berlimpah.

Teknologi memang membantu peradaban manusia, tetapi juga menyimpan sisi lain yang memotong kita untuk menghargai dan melestarikan proses hidup sebagai kesatuan yang utuh. Bukan hanya hidup yang diminta, yang praktis, yang dipamerkan, lalu dikhawatirkan.

Teknologi memotong banyak hal termasuk cara pandang terhadap hidup yang lebih luas dan merasa cukup di dalam hidup. Hahahaha, saya jadi sangat malu dengan semua kepraktisan yang sering menjadi khilaf sehingga lupa bersyukur. Tetapi tidak sampai disini, tentu semua pelajaran itu akan menjadi proses dinamis yang harus dihadapi dengan berani. Takzim untuk manusia-manusia kuat, generasi milenial jangan kalah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun